TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi atau MAKI Boyamin Saiman melaporkan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, Menkeu Sri Mulyani, dan Menkopolhukam Mahfud MD. Ketiganya diadukan ke Bareskrim Polri pada 28 Maret 2023 soal dugaan tindak pidana membuka rahasia transaksi mencurigakan di Kemenkeu sebesar Rp 349 triliun.
Bukan untuk mempidanakan, Boyamin Saiman membuat laporan dalam rangka menyelesaikan perdebatan antara Pemerintah dengan DPR. Pelaporan ini sekaligus menguji pernyataan anggota Komisi III DPR, Arteria Dahlan, dalam rapat. Arteria menyebut tindakan membuka hasil laporan PPATK merupakan tindak pidana sebagai mana Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
“Daripada diperdebatkan terus antara pemerintah dan DPR, sudahlah saya ngalah lapor ke Bareksrim,” kata Boyamin.
Boyamin berharap laporannya tersebut ditolak Bareskrim Polri. Sehingga tidak ada unsur pidananya. Dengan demikian dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang atau TPPU dapat dikupas tuntas. Ia menyebut laporan itu sebagai logika terbalik bentuk dukungan kepada Ivan, Mahfud Md, dan Sri Mulyani. Saat ini Bareskrim Polri masih mengkaji laporan tersebut.
Profil Boyamin Saiman
Boyamin Saiman dikenal sebagai tokoh antikorupsi yang getol terlibat membongkar kasus di Tanah Air. Pria kelahiran 20 Juli 1969 di Desa Ngumpul, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur ini merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pada 1997, Boyamin pernah terjun ke dunia politik. Dia bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan menjadi DPRD Solo.
Selama kariernya di perpolitikan, Boyamin sudah dikenal sebagai sosok yang anti terhadap tindakan korupsi. Meski masih di bawah rezim Orde Baru, dia tetap lantang mengungkapkan sindikat korupsi di sistem birokrasi. Bahkan, karena sikapnya itu, Boyamin disebut pernah masuk dalam Daftar Pencarian Orang atau DPO era Presiden Soeharto. Salah satu kasus yang kencang dikritisi Boyamin saat itu adalah ihwal Waduk Kedung Ombo di Boyolali, Jawa Tengah.
Usai mengemban tugas sebagai DPRD Solo, Boyamin boyong ke Semarang. Di Ibu Kota Jawa Tengah itu, dia terlibat aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM dengan bergabung di Lembaga Bantuan Hukum alias LBH. Boyamin tercacat sebagai salah satu pendiri Komite Penyelidikan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme atau KP2KKN. Komite ini ditegakkan di Semarang pada 8 Mei 1998, beberapa hari jelang lengsernya Soeharto.
Demi mengejar kariernya sebagai pengacara, Boyamin kemudian pindah ke Jakarta. Dia percaya di Ibu Kota, kariernya akan lebih moncer. Di Jakarta, Boyamin kemudian mendirikan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia atau MAKI pada 2007. Keaktifannya melawan korupsi membuatnya beberapa kali berurusan dengan pihak berwenang. Dia pernah ditangkap pada 2012 gara-gara memperkarakan proyek Bank Dunia di Jambi.
Boyamin kembali berurusan dengan polisi pada 2019. Ia dilaporkan Ketua Pengadilan Negeri Semarang Sutaji. Musababnya, Boyamin menempelkan stiker ‘Bangunan Ini Bukan Milik Negara’ di gazebo PN Semarang. Menurutnya, salah satu aset PN Semarang itu diduga terkait dengan kasus pidana suap yang menyangkut salah seorang hakim. Gazebo tersebut, kata Boyamin, digunakan sebagai tempat merokok pengunjung.
Hingga kini, Boyamin Saiman bersama organisasinya MAKI, tetap aktif membantu membongkar sejumlah kasus korupsi di Indonesia.
Pilihan Editor: Bareskrim Kaji Aduan MAKI Terhadap Mahfud MD, Sri Mulyani dan Kepala PPATK
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.