TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi sipil menyatakan keraguannya terhadap integritas Mahkamah Konstitusi usai Hakim Guntur Hamzah terbukti mengubah frasa putusan MK dan melanggar bagian dari penerapan prinsip integritas dalam sapta karsa hutama. Hal ini menjadi salah satu alasan Koalisi pikir-pikir mengajukan gugatan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau dikenal UU Cipta Kerja ke MK.
"Kami sendiri masih mengevaluasi MK bisa dipercaya atau tidak, karena terakhir kami melihat misalnya terdapat hakim yang memalsukan putusan, tapi hanya diberikan sanksi teguran lisan. Jadi kami meragukan MK sementara ini untuk sebagai mekanisme penguji UU," ujar perwakilan koalisi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia M. Isnur saat dihubungi Tempo, Kamis, 23 Maret 2023.
Isnur juga menyebut intervensi dari legislatif dan eksekutif kepada MK sudah cukup besar. Hal itu terlihat saat pencopotan Hakim Aswanto oleh DPR karena menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pemerintah juga dinilai tidak mengambil tindakan apapun atas kesewenangan DPR tersebut.
"Itu kan prosedur pencabutan hakim yang sangat buruk dalam sejarah MK. Jadi intervensi dari legislatif dan eksekutif sangat kuat sekali di MK. Jadi kami melihat ini MK sudah dihancurkan sedemikian rupa oleh oligarki, oleh eksekutif, dan juga legislatif," kata Isnur.
Atas dasar pertimbangan tersebut, Isnur mengatakan koalisi masih mengatur strategi untuk melawan UU Cipta Kerja yang telah diterbitkan DPR RI. "Kami masih melihat dan membahas bersama rekan-rekan. Jadi kami belum menentukan sikap selanjutnya," kata Isnur.
Sebelumnya, DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, pada Selasa, 21 Maret 2023. Pengesahan yang dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani tersebut sempat diwarnai protes dari Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Kedua partai itu menyatakan menolak pengesahan tersebut. Anggota Fraksi PKS bahkan sempat melakukan aksi walk out dari ruang sidang. Meskipun demikian, Puan sebagai pimpinan rapat tak menggubris protes tersebut dan melanjutkan rapat untuk mengesahkan Perpu Cipta Kerja menjadi undang-undang.
"Kami akan menanyakan kembali kepada seluruh peserta sidang, apakah Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Ketua DPR RI Puan Maharani kepada seluruh peserta rapat paripurna.
Pertanyaan itu lalu dijawab setuju oleh sebagian besar peserta rapat.
Perpu Cipta Kerja merupakan bentuk lain dari UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat secara formil oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Pada 25 November 2021. MK memerintahkan DPR RI dan Presiden Jokowi untuk mengulang proses pembentukan UU tersebut dengan memastikan partisipasi publik.
Alih-alih mengikuti putusan MK, Jokowi justru menandatangani Perpu Cipta Kerja pada 30 Desember 2023. Presiden beralasan Perpu itu diperlukan untuk menghadapi tantangan ekonomi global. Meskipun demikian, alasan Jokowi itu dinilai banyak pihak tak sesuai dengan kegentingan memaksa seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Tak berhenti sampai disitu, Perpu Cipta Kerja kembali memicu kontroversi setelah DPR RI gagal mengesahkannya pada masa sidang sebelumnya. Padahal, dalam UUD 1945 disebutkan bahwa Perpu harus disahkan pada masa sidang selanjutnya setelah Perpu itu ditandatangani Presiden. DPR pun berkelit bahwa Perpu tersebut telah sah karena telah disetujui dalam rapat Baleg.
M JULNIS FIRMANSYAH
Pilihan Editor: PKS Siap Bantu Pihak yang Ingin Gugat Perpu Cipta Kerja ke MK