Anggota DPR Komisi Hukum Fraksi Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan Perpu Cipta Kerja sudah kehilangan alasannya mengenai kegentingan memaksa. Sebab, kata dia, usai diterbitkan pada 30 Desember 2022, DPR tak kunjung mengesahkan Perpu dalam rapat paripurna terdekat, alias pada masa sidang III periode Januari-Februari lalu.
Hinca mulanya memperkirakan Perpu ini akan disahkan dalam rapat paripurna masa sidang III. Namun, kata dia, hingga penutupan masa sidang, Perpu Ciptaker tak kunjung disahkan.
“Ternyata sampai paripurna penutupan masa sidang tidak ada agenda tentang pengesahan Perpu. Tadinya di badan legislasi (baleg) sudah disepakati tingkat I dengan komposisi 7 fraksi menerima, 2 menolak,” kata Hinca di Gedung DPR, Senin, 20 Maret 2023.
Oleh sebab itu, Hinca mengatakan alasan kegentingan memaksa di balik terbitnya Perpu sudah hilang. Sebab jika ada kegentingan, kata dia, maka Perpu Ciptaker mestinya disahkan dalam masa sidang terdekat.
“Ihwal kegentingan memaksa, berarti soal waktu mepet. Dan waktu itu pikiran saya dan teman-teman di Baleg juga tinggal naik ke paripurna. Faktanya tidak. Kalau begitu, mana kegentingan memaksanya?,” kata dia.
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menjelaskan, seharusnya Perpu Ciptaker yang terbit pada 30 Desember 2022 disahkan dalam rapat paripurna masa sidang III. Merujuk pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pasal 52, disebutkan Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
Adapun penjelasan pasal tersebut menyatakan yang dimaksud “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Perpu ditetapkan.
“Proses persetujuan atau tidak, harus dilangsungkan dalam rapat paripurna berikutnya (masa sidang III). Kenapa? Karena sifat kegentingan memaksa itu, jadi harus disegerakan,” kata Feri saat dihubungi, Kamis, 16 Maret 2023.
Jika melihat konteks Perpu Ciptaker, Feri mengatakan beleid ini sudah melewati batas masa sidang berikutnya. Mestinya, kata dia, Perpu diketok pada Januari-Februari.
Adapun jika DPR berkukuh mengesahkan Perpu ini, Feri mengatakan anggota dewan tidak memahami UU yang dibuat sendiri. “Kalau dilihat ini DPR sewenang-wenang atau melampaui wewenang karena mestinya harus sadar, ada aturan administrasi,” kata dia.
Konsekuensinya, lanjut Feri, Perpu Ciptaker bisa dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum. Pasalnya, DPR tidak menjalankan prosedur yang sudah diatur dalam konstitusi.
Jika tetap dipaksakan untuk disahkan, Feri menilai DPR lebih mengedepankan kepentingan politik dibandingkan menghormati hukum. Di sisi lain, Perpu ini juga berpeluang digugat kembali di Mahkamah Konstitusi karena cacat formil.
“Bisa juga dipermasalahkan di MK, cacat formilnya itu. Sehingga MK yang nantinya menyatakan dibatalkan. Tapi jika prosedur sudah diabaikan, pasti mereka sudah yakin bahwa MK bisa saja menerima persoalan itu,” kata Feri.
Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama 2 tahun.
UU Cipta Kerja, dalam pertimbangan putusan MK, disebut cacat formil karena proses pembentukannya yang tidak didasarkan pada cara dan metode pembentukan UU. Pembentukan UU Cipta Kerja juga diwarnai perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden.
Usai diterbitkan pada 30 Desember 2022 lalu, Perpu Ciptaker menuai kritikan dari berbagai kalangan. Penerbitan Perppu disebut-sebut tidak melibatkan partisipasi publik sesuai arahan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.
Pilihan Editor: Perpu Cipta Kerja Tetap di Bahas di Paripurna Partai Buruh Persiapkan Mogok Nasional