TEMPO.CO, Jakarta - Nama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil belakangan tengah jadi sorotan publik. Hal itu lantaran mencuatnya pemberitaan Muhammad Sabil Fadilah, seorang guru honorer asal Cirebon yang dipecat dari sekolah tempatnya mengajar usai melontarkan kritik pada kolom komentar salah satu unggahan oleh akun Instagram gubernur yang biasa dipanggil Kang Emil itu.
Peneliti Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya (PSKMD) Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad), Justito Adiprasetio melihat ini dari sudut pandang komunikasi publik. Hal yang menjadi sorotannya adalah seberapa penting dan signifikan sebenarnya merespons komentar itu bagi Ridwan Kamil.
Dalam pandangan pria yang kerap disapa Tito itu, apa yang disampaikan oleh guru tersebut, terlepas sopan atau tidak, kalau terkait diskusi politik yang melibatkan publik, konsekuensi yang akan dihadapi pada akhirnya akan melibatkan kata-kata ofensif.
Kata ‘maneh’ yang digunakan Sabil dalam komentarnya, bagi Tito, tidak begitu berarti. Tito merujuk pada konteks kategori hate speech. Di negara-negara barat, pengertian hate speech berkaitan dengan ancaman. Kata ‘maneh’ ini, sebut Tito, bahkan tidak masuk dalam kategori defamation atau pencemaran nama baik.
“Ini yang harus dipertanyakan, kenapa Kang Emil mesti merespons itu? Bahkan secara langsung kepada sekolahnya. Jadi kalau hanya kata ‘maneh’ saja saya pikir responsnya sangat reaktif dan sebenarnya tidak perlu dilakukan. Lebih penting untuk melihat hal-hal yang substansial dari kritik tersebut daripada hanya melihat ‘bungkusnya’,” kata Tito kepada Tempo.co pada Kamis, 16 Maret 2023.
Menurut Tito, langkah paling ideal yang bisa dilakukan Kang Emil sebagai pemilik otoritas tentu saja minta maaf. Baginya, permintaan maaf yang mesti disampaikan bukan hanya soal langkah berlebihan dari sekolah guru tersebut, tetapi juga soal ambiguitas pendekatan komunikasi yang dilakukannya.
“Melihat dinamika diskusi politik dalam sejarah demokrasi umat manusia, sulit untuk mengharapkan diskusi yang kedap dari kata-kata ofensif yang mana itu sangat wajar,” ujar penulis buku Komunikasi dan Kuasa itu.
Tito mencontohkan gejolak politik pada masa kepimpinan Sukarno. Ketika itu, banyak kritik yang dilayangkan kepada sang proklamator dan tokoh-tokoh politik lainnya dengan jauh lebih tajam dan vulgar dibandingkan masa kini. “Bisa dilihat dari sejumlah bukti dokumen sejarah,” kata Tito.
Dalam pandangan Tito, apa yang mungkin dilihat Kang Emil sebagai kata-kata yang kurang pantas, baginya hanyalah rasa kurang sreg. Masalah sreg atau tidak sreg ini berkaitan dengan kelas sosial dan lingkup kebudayaan yang bisa jadi berbeda dari setiap daerah, demikian jelas Tito. “Seperti kata ‘maneh’ ini yang jika di daerah cirebon ini tidak termasuk kata yang kasar, berbeda dengan misalnya di daerah priangan,” ujarnya.
Tito melihat hal ini sebagai bentuk kekhawatiran yang sangat berlebihan. Menyebut aksi komentar guru terkait sebagai kekhawatiran karena dapat menjadi contoh tidak baik bagi para murid ini bagi Tito pada akhirnya malah menjadi subjek politik.
“Sebagai akademisi yang melihat bagaimana saat ini kita mengalami penyempitan ruang sipil, apa yang dilakukan oleh Kang Emil dan efeknya sekarang menjadi salah satu wujud dari adanya upaya untuk semakin memperkecil ruang sipil dengan praktik ‘dog whistle’. Selama kritik yang didapat tidak mengancam jiwa dan bukan merupakan tekanan yang berarti, seharusnya tidak perlu dipermasalahkan,” kata Tito.
Klarifikasi Ridwan Kamil
Ridwan Kamil menyampaikan klarifikasi terkait guru SMK di Cirebon yang diberhentikan oleh yayasan sekolah karena mengkritik dirinya di akun Instagramnya. "Menyikapi hadirnya berita bahwa ada guru SMK diberhentikan oleh yayasannya karena mengkritik saya, yang membuat saya juga kaget, dengan ini saya sampaikan klarifikasi," kata Ridwan Kamil melalui unggahan di akun Instagram dan Twitter resminya pada Rabu, 15 Maret 2023.
Mantan Wali Kota Bandung itu menjelaskan bahwa pemimpin harus terbuka terhadap kritik meskipun terkadang kasar. Ridwan Kamil mengatakan biasanya membalas komentar itu dengan biasa saja.
"Seorang pemimpin harus terbuka terhadap kritik walaupun kadang disampaikan secara kasar. Sudah ribuan kritik masuk, dan selalu saya respons dengan santai dan biasa saja. Kadang ditanggapi dengan memberikan penjelasan ilmiah, kadang dibalas dengan bercanda saja," katanya.
Ia pun berpandangan bahwa pemecatan itu mungkin berkaitan dengan status Sabil sebagai guru yang sepak terjangnya bisa dilihat dan ditiru murid-muridnya. "Mungkin karena yang melakukannya posting kasar adalah seorang guru, yang postingannya mungkin dilihat/ditiru oleh murid-muridnya, maka pihak sekolah atau yayasan untuk menjaga nama baik institusi memberikan tindakan tegas sesuai peraturan sekolah yang bersangkutan," kata dia.
Merespons pemecatan guru yang bersangkutan, Kang Emil mengatakan telah menghubungi pihak yayasan untuk membatalkannya "Setelah berita itu hadir, saya sudah mengontak sekolah atau yayasan agar yang bersangkutan cukup dinasihati dan diingatkan saja, tidak perlu sampai diberhentikan," ujarnya.
"Apa pun itu, di era medsos tanpa sensor ini, kewajiban kita para orang tua, guru dan pemimpin untuk terus saling nasihat-menasihati dalam kebaikan, kesabaran dan selalu bijak dalam bermedsos. Agar anak cucu kita bisa hidup dalam peradaban yang lebih mulia. Hatur Nuhun" kata Kang Emil.
Pilihan Editor: Ditawari Kembali Mengajar, Guru Pengkritik Ridwan Kamil Ogah Kembali ke SMK Telkom Cirebon
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.