Sejumlah kritikan disampaikan Dewi. Menurut dia, PP ini mengatur pemberian konsesi HGU langsung dalam satu siklus 95 tahun, yakni pemberian hak 35 tahun sekaligus dengan perpanjangan hak 25 tahun dan pembaruan haknya 35 tahun.
"Semakin liberal, sebab investor langsung dijamin mendapat siklus kedua dengan tambahan 95 tahun lagi. Total 190 tahun, hampir dua abad konsesi," kata dia.
Sedangkan, HGB dan HP bisa mencapai 160 tahun. Menurut Dewi, PP ini menciptakan jalan hukum agar siklus pertama berikut siklus keduanya langsung dicantumkan dalam keputusan pemberian hak, dan dicatatkan dalam sertifikat HGU.
"Perjanjian siklus kedua HGB dan HP dapat dibuat sejak awal perjanjian pemberian hak. Negara melalui Otorita IKN mensejajarkan diri dengan investor," kata dia.
Bahayanya, kata Dewi, pencabutan atau penghapusan hak sama sekali tidak diatur dalam PP 12 ini. Padahal seharusnya tata-cara pencabutan hak dan atau pemberian sanksi semakin jelas dan tegas dengan pemberian konsesi hampir mencapai dua abad lamanya ini. UU Pokok Agraria pun, kata Dewi, sudah terang-benderang dalam pemberian hak, dimana harus dilakukan secara
bertahap dan bersyarat.
Menurut UU Pokok Agraria, HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. Bagi perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan HGU paling lama 35 tahun. Perpanjangan HGU paling lama 25 tahun saja.Terkait HGB, UU Pokok Agraria juga sudah mengatur jangka waktu HGB paling lama 30 tahun. Perpanjangan maksimal 20 tahun
"Selain itu, UU Pokok Agraria juga sudah mengatur bahwa perpanjangan hak hanya dapat dilakukan sepanjang pemilik hak masih memenuhi syarat sesuai aturan UU Pokok Agraria," kata Dewi.
Permohonan perpanjangannya pun harus dilakukan paling lambat 2 tahun sebelum masa HGU dan HGB kedaluwarsa. Sementara
untuk pembaruan hak, tahapannya kembali sebagaimana syarat-syarat pemberian hak di awal. Oleh sebab itu, Dewi menyebut sistem siklus dalam PP 12 ini telah melanggar Pasal UU Pokok Agraria karena regulasi tersebut tidak pernah memandatkan pemberian HGU, HGB dan HP dengan perpanjangan dan pembaruan hak dalam satu siklus pemberian hak.
Akan tetapi, PP 12 justru dinilai kebablasan dengan menjamin pemberian hak dalam dua siklus; 2 kali 95 tahun untuk HGU, 2 kali 80 tahun untuk HGB dan HP. "Inilah pelanggaran fundamental terhadap UU Pokok Agraria," ujar Dewi.
Melanggar Putusan MK Nomor 21-22
Selain itu, Dewi juga menyebut PP 12 ini melanggar Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 terkait pemberian konsesi sekaligus
di muka. Sebab sebelumnya telah ada Putusan MK yang menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah sekaligus di muka (pemberian hak, perpanjangan dan pembaruannya) berupa 95 tahun HGU, 80 tahun HGB dan 70 tahun Hak Pakai melanggar Konstitusi.
Putusan MK ini berkaitan dengan amar putusan atas permohonan judicial review organisasi masyarakat sipil terhadap UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dewi menyebut penggunaan konsep “siklus pemberian” dalam PP 12 sama saja maknanya dengan konsep “di muka sekaligus” dalam UU Penanaman Modal.
Artinya, ketentuan ini sama-sama bertujuan memberikan, memperpanjang dan memperbaharui HGU, HGB, dan HP sekaligus dalam satu siklus pemberian hak. Bahkan PP 12 lebih parah dibanding UU Penanaman Modal yang dulu juga ditentang, karena sejak awal PP telah memberikan jaminan pemberian hak dalam dua kali siklus. "Penanaman Modal saja sudah dinyatakan melanggar UUD 1945, apalagi dua kali lipatnya," kata Dewi.