TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data dan Informasi Bawaslu, Puadi, menyebut pihaknya telah menerima 7.650 laporan soal serangan siber yang tersebar di Indonesia. Dari 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, Puadi menyebut sebanyak 116 di antaranya terdampak serangan siber tersebut.
Untuk menanggapi hal tersebut, Puadi menyebut Bawaslu telah membentuk Tim Tanggap Insiden Siber atau Computer Security Incident Response Team (CSIRT) yang disupervisi oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Puadi menyebut Tim CSIRT saat ini tengah difokuskan di Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, dan Sumatera Barat yang merupakan provinsi dengan laporan terbanyak.
"Yang lebih terdampaknya ada beberapa provinsi yang sampai saat ini juga masih butuh penanganan-penanganan," kata Puadi saat peluncuran CSIRT di Jakarta Utara, Senin, 13 Maret 2023.
Puadi menyebut gangguan siber yang dilaporkan itu antara lain usaha pencurian data rahasia milik Bawaslu, data penyelesaian sengketa proses pemilu, data pelanggaran administrasi, hingga usaha pencurian data pemilih. Mengenai sistem penanganan pelaporan tersebut, Puadi menyebut CSIRT di berbagai daerah nantinya bakal melaporkan dugaan kecurangan tersebut ke Bawaslu Pusat.
"Sehingga nanti ketika ada beberapa serangan serangan di beberapa wilayah, koordinasi dengan pusat, nanti Tim Tanggap Pusat lah yang kemudian mengantisipasi dengan langkah-langkah agar serangan ini tidak menjadi terus-menerus dilakukan serangan, sehingga mitigasinya langsung dieksekusi," kata Puadi.
Gunakan teknologi awasi Pemilu 2024
Puadi menyebut pada Pemilu 2024 Bawaslu bakal mulai menggunakan teknologi dalam pengawasan, penanganan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa. Penggunaan teknologi, kata dia, agar sesuai prinsip transparan, efisien dan efektif.
Puadi menyebut Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam pengawasan pemilu juga merupakan alat ukur dalam peningkatan kualitas pengawasan pemilu. Namun, Puadi menyebut penggunaan TIK juga menimbulkan ancaman baru, yaitu serangan siber terhadap data dan sistem informasi yang digunakan.
"Dampak dari serangan siber tersebut selain merusak sistem informasi dan mengganggu pelayanan publik, namun juga dapat menghilangkan data termasuk bocornya data pribadi, sehingga berpotensi menimbulkan kekacauan politik dan ketidakpercayaan masyarakat pada pelaksanaan dan hasil pemilu," kata Puadi.
Pilihan Editor: Rafael Alun dan Tsunami Transaksi Rp 300 Triliun di Kemenkeu