Pelanggaran kedua, menurut Saleh, terkait dengan yuridiksi majelis hakim dalam memutuskan perkara sengketa pemilu. Dia menyatakan perkara tersebut seharusnya diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) ataupun Bawaslu.
"Tidak mencerminkan Hakim menerapkan pasal 7 ayat 1 yang mana melandaskan tindakannya menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang yang berlaku yaitu di undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu," ucapnya.
Berdasarkan dua hal itu, Saleh menyatakan bahwa jelas terjadi pelanggaran kode etik oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat dalam putusan penundaan Pemilu 2023.
Saleh menyatakan bahwa pihaknya dan Komisi Yudisial sama-sama menilai kasus ini serius. Karena itu, dia menilai KY seharusnya memprioritaskan masalah ini.
"Disampaikan bahwa jika dibutuhkan ini akan segera diperiksa berbarengan dengan Mahkamah agung melalui pemeriksaan bersama, kami berharap ini juga bisa dilakukan," kata dia.
Awal mula putusan penundaan Pemilu
Putusan kontroversial itu bermula ketika Partai Prima mengajukan gugatan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) setelah dinyatakan tak lolos dalam tahap verifikasi administrasi calon peserta Pemilu 2024.
Majelis hakim mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan 7 hari.
"Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari," ucap majelis hakim yang diketuai oleh Oyong, dikutip dari putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst," ujar hakim saat itu.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim PN Jakarta Pusat memerintahkan KPU untuk tidak melanjutkan sisa tahapan Pemilu 2024 guna memulihkan dan menciptakan keadaan yang adil serta melindungi agar sedini mungkin tidak terjadi lagi kejadian-kejadian lain akibat kesalahan, ketidakcermatan, ketidaktelitian, ketidakprofesionalan, dan ketidakadilan yang dilakukan KPU sebagai pihak tergugat.
Selain itu, majelis hakim juga menyatakan fakta-fakta hukum telah membuktikan terjadi kondisi error pada Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) yang disebabkan oleh faktor kualitas alat yang digunakan atau faktor di luar prasarana.
Hal tersebut terjadi saat Partai Prima mengalami kesulitan dalam menyampaikan perbaikan data peserta partai politik ke dalam Sipol yang mengalami error pada sistem. Tanpa adanya toleransi atas apa yang terjadi tersebut, KPU menetapkan status Partai Prima tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai parpol peserta Pemilu 2024.
KPU lantas menyatakan mengajukan banding atas putusan tersebut. Mereka juga memastikan tidak ada penundaan Pemilu 2024 dan tahapan pemilu saat ini terus berjalan.