Menurut Susi, Pasal 22 ayat (2) menekankan pada frasa "persidangan yang berikut" . Makna dari frasa ini, menurut dia, dijelaskan dalam Pasal 52 di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Beleid ini direvisi lewat UU Nomor 13 Tahun 2022, namun Pasal 52 tidak mengalami perubahan sama sekali. Penjelasan dari Pasal 52 ini berbunyi:
"Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan."
Menurut Susi, inilah penafsiran otentik dari pembentuk UU ini. Sehingga, Perpu Cipta Kerja mau tak mau harus dibahas di DPR pada masa sidang III.
"Tidak ada lagi yang lain," kata dia.
Jokowi meneken Perpu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Kritikan terhadap ini langsung keluar sejak awal Perpu ini lahir. Presiden dinilai melakukan pelanggaran UUD 1945 karena tak memenuhi syarat untuk menerbitkan Perpu, yaitu kegentingan yang memaksa.
Pemerintah berkilah bahwa kegentingan memaksa yang membuat Perpu Cipta Kerja harus dikeluarkan adalah untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia pada tahun 2023. Padahal sebelumnya Presiden Jokowi dan sejumlah menteri bidang perekonomian selalu menyatakan bahwa pertumbuhan perekonomian Indonesia pasca pandemi Covid-19 baik.