TEMPO.CO, Jakarta - Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers atau UU Pers kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini gugatan materiil diajukan oleh seorang warga Banten, Mochammad Ojat Sudrajat S, terhadap pasal mengenai fungsi Dewan Pers.
Ketentuan yang diuji yaitu Pasal 15 ayat 2 huruf d UU Pers yang berbunyi: Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
"Hal ini merugikan pemohon," kata Ojat yang menjadi partner di Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Arif Afandi Lubis, kepada Majelis Hakim MK dalam sidang pemeriksaan pendahuluan untuk perkara 13/PUU-XXI/2023, Senin, 13 Februari 2023.
Ojat mengaku pernah mengalami langsung soal pemberitaan yang mencemarkan nama baik dirinya. Lalu, ada juga masalah terkait pemberitaan pers yang berisikan data-data yang diduga palsu.
Akan tetapi, kata dia, penyelesaian setiap masalah pada pemberitaan pers harus melalui Dewan Pers. Sementara, Ojat menilai Dewan Pers hanya menanggapi pemberitaan pers pada media-media yang terdaftar di sana.
Ojat menilai pasal tersebut telah menimbulkan diskriminasi hukum antara masyarakat biasa dengan masyarakat yang berprofesi wartawan. Termasuk perusahaan pers dengan perusahaan yang bergerak di luar bidang usaha pers.
Ia khawatir tidak akan ada efek jera jika pasal ini terus dilanjutkan tanpa proses pidana. Baik terhadap wartawan, perusahaan pers yang tidak terdaftar di Dewan Pers, dan/atau yang membuat pemberitaan pers yang memenuhi unsur pidana pencemaran nama baik, fitnah, berita bohong, serta ujaran kebencian.
Ojat menyebut tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan konflik. Oleh sebab itu, Ia meminta Majelis Hakim MK menyatakan pasal ini tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Pemohon menilai pasal ini harus diganti dengan frasa:
"kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers dilakukan oleh wartawan dan/atau perusahaan pers yang tidak terdaftar atau tidak di dalam pers dan/atau kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers yang mengandung unsur-unsur tindak pidana berita bohong atau hoax, fitnah dan/atau menghina dan/atau mencemarkan nama baik serta merendahkan harkat dan martabat perorangan, badan hukum maupun badan publik serta pemberitaan pers yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)"
Dalam persidangan, Majelis Hakim MK menyampaikan sejumlah saran perbaikan kepada pemohon. Salah satu soal petitum pemohon yang seharusnya menggunakan kalimat "tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai"
"Kalau ini agak bingung kita ini, membacanya ini, apalagi ada dan/atau seperti itu, ya," kata Hakim Anggota Enny Nurbaningsih. Ketua Sidang Hakim Daniel Yusmic P. Foekh pun meminta pemohon menyerahkan perbaikan gugatan pada 27 Februari mendatang.
MK Pernah Tolak Gugatan UU Pers
Pasal 15 yang mengatur soal Dewan Pers bukan kali ini saja digugat ke MK. Sebelumnya, tiga wartawan menggugat Pasal 15 ayat 2 dan ayat 5 pada UU Pers. Pada 31 Agustus 2022, MK menolak gugatan ini.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Anwar Usman, saat membacakan amar putusan perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 yang disiarkan MK secara virtual di Jakarta, Rabu.
Dalam kesimpulannya, Usman yang bertindak sebagai ketua sekaligus merangkap anggota mengatakan pokok permohonan yang diajukan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk keseluruhannya.
Pada bagian pokok permohonan yang dibacakan langsung hakim Daniel Foekh mengatakan pemohon mendalilkan inskonstitusionalitas pasal 15 ayat 2 dan pasal 15 ayat 5 UU Pers.
Dalil-dalil yang disampaikan pemohon yakni fungsi Dewan Pers pada Pasal 15 ayat 2 huruf e UU Pers menimbulkan ketidakjelasan tafsir. Akibatnya, menurut pemohon, Dewan Pers menafsirkan kata "memfasilitasi" menjadi memonopoli serta mengambil alih peran organisasi pers dalam menyusun peraturan perundang-undangan di bidang pers.
Termasuk tidak memberdayakan organisasi pers yang sudah ada. Seharusnya menurut pemohon, Dewan Pers bukan sebagai regulator melainkan hanya menjalankan fungsi memfasilitasi organisasi pers.
Dalil berikutnya yang disampaikan pemohon ialah Dewan Pers dinilai telah melampaui kewenangannya membuat keputusan yang mengambil wewenang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) untuk melaksanakan uji kompetensi wartawan (UKW).
Padahal, tidak satupun pasal dalam UU Pers yang mengatur kewenangan Dewan Pers untuk mengeluarkan surat keputusan setara dengan lisensi BNSP.
Para pemohon I dan pemohon II mengaku juga telah mendirikan lembaga sertifikasi profesi Pers Indonesia yang bersertifikat resmi dari BNSP untuk melaksanakan UKW menggunakan standar kompetensi kerja. Hal itu sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2/2016 tentang sistem standarisasi kompetensi kerja nasional.
Hal itu menurut pemohon berbeda dengan Dewan Pers yang hanya menggunakan standar kompetensi wartawan berdasarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/X/2018 tentang standar kompetensi wartawan.
Tidak hanya itu, menurut pemohon pasal 15 ayat 2 menimbulkan ketidakjelasan tafsir sehingga mengakibatkan pemohon tidak mendapatkan penetapan sebagai anggota Dewan pers melalui Keputusan Presiden.
Para pemohon mendalilkan seharusnya Keputusan Presiden hanya bersifat administratif sesuai usulan atau permohonan dari organisasi pers, perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers.
Berikutnya, kata Foekh, pemohon juga mendalilkan hasil pemilihan anggota Dewan Pers tidak melibatkan seluruh organisasi pers yang berbadan hukum yang disahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Melainkan anggota Dewan Pers hanya oleh organisasi pers konstituen Dewan Pers, sehingga pemohon juga kehilangan untuk memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers.
Pilihan Editor: Dewan Pers di Depan Jokowi: Jangan Sampai Beda Pandangan Disebut Hoax