TEMPO.CO, Jakarta -Hari ini 78 tahun silam, tepatnya 14 Februari 1945 meletus pemberontakan PETA, singkatan Pembela Tanah Air melawan tentara Jepang di Blitar, Jawa Timur. Pemberontakan oleh kesatuan tentara beranggotakan pribumi Indonesia bentukan bala tentara pendudukan Jepang itu digerakkan oleh Soeprijadi.
Peristiwa perlawanan di tengah kecamuk Perang Dunia II tersebut menandai kebangkitan warga lokal. Lantas apa itu PETA yang tersebar terutama di Pulau Jawa? Kapan awalnya terbentuk?
Dikutip dari Majalah TEMPO, pada 3 Oktober 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 44 Tahun 2603 (1944) tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Tanah Jawa.
Dalam buku Tentara PETA pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, hampir semua daidancho dan chudancho dibujuk secara pribadi oleh Beppan. kebanyakan direkrut dari tokoh masyarakat, seperti guru, tokoh agama Islam, dan pegawai pemerintah. “Karena itu, umurnya tak muda lagi,” kata Nina Lubis, penulis buku PETA Cikal Bakal TNI. Daidancho adalah jabatan setingkat komandan batalion.
Sebelum membentuk PETA, Jepang telah mengeluarkan peraturan tentang pembentukan pasukan pribumi Heiho pada 22 April 1943. Pasukan Heiho terutama bertugas di satuan artileri pertahanan udara, tank, artileri medan, mortir parit, dan sebagai pengemudi angkutan perang. Namun, Heiho ternyata tak memuaskan Jepang, yang ingin pasukan sepenuhnya terdiri dari orang pribumi, terpisah dari tentara Jepang.
Pemuda Heiho hanya menjadi pembantu prajurit Jepang. Tak satu pun di antara mereka menjadi perwira. Tangerang Seinen Dojo (pusat latihan pemuda Tangerang), yang mulai berlatih sejak Januari 1943, malah dianggap lebih berhasil.
Pemisahan tentara pribumi dengan tentara Jepang kemudian dilaksanakan di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa dengan nama Giyu-gun. Pengerahan rakyat pribumi untuk masuk tentara sukarela akhirnya terlaksana dengan pembentukan PETA.
Untuk menjadi calon perwira tentara PETA, Jepang mensyaratkan bakat kepemimpinan, jiwa dan fisik sehat, serta stabilitas mental. Seleksi dilakukan di ibu kota kabupaten (ken) atau kota madya (shi), yang kemudian dilanjutkan di ibu kota karesidenan (shu) untuk pemeriksaan kesehatan.
Seleksi dilakukan pada awal bulan Oktober 1943 dan hasilnya diumumkan dua minggu kemudian. Angkatan kedua pendidikan PETA dimulai pada April 1944. Pendidikan untuk daidancho, kata Nina dalam bukunya, hanya dua bulan. Sedangkan untuk chudancho dan shudancho latihannya 3-4 bulan. Mereka berlatih di kompleks militer eks Belanda, 700 meter dari istana presiden di Bogor. Pusat latihan itu diberi nama Jawa Bo-ei Giyugyun Kanbu Renseitai, dibuka resmi pada 15 Oktober 1943.
Angkatan kedua pendidikan perwira Peta dilantik pada 10 Agustus 1944. Mereka diberi samurai dan disebar ke 55 daidan di daerah pantai selatan Jawa. Sebagai daidancho, Soedirman ditempatkan di Kroya, Jawa Tengah, didampingi shoko shidokan, perwira Jepang yang bertugas sebagai pengawas dan penasihat teknis kemiliteran, Letnan Fujita.
Setelah diangkat menjadi daidancho pada usia 26 tahun, Soedirman pulang ke rumah dan menceritakan kepada Alfiah ihwal penempatannya di Kroya. “Saya menjadi daidancho di sini (Cilacap),” kata Soedirman. Ujian pertama Soedirman dilalui pada 21 April 1945, saat pasukan PETA di bawah komando bundancho Kusaeri memberontak di Desa Gumilir, Cilacap.
Peristiwa itu berlangsung lima hari setelah vonis tentara Jepang terhadap pemberontakan PETA Blitar. Soedirman diperintahkan memadamkan pemberontakan Gumilir.
Melansir dari buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, daidancho itu sebenarnya tahu gerakan Kusaeri. Sebab, beberapa hari sebelum bergerak, Kusaeri menemuinya di Cilacap. Soedirman meminta koleganya itu menunda gerakan. Kata dia, “Kita harus bergerak pada waktu yang tepat.”
Pada 4-9 Februari 1945, Supriyadi mendesak rekannya untuk segera melancarkan pemberontakan. Namun tidak disetujui, dengan alasan daidan lain belum bergabung.
Kemudian pada 13 Februari 1945, Soeprijadi kembali mengumpulkan rekannya. Dia meyakinkan pemberontakan harus segera dilakukan sebelum diketahui Jepang.
Pada tengah malam tangga 13 Februari 1945, tentara PETA keluar dari markas dengan alasan latihan malam. Pemberontakan dimulai pada pukul 03.00 tanggal 14 Februari 1945, dengan melepaskan tembakan ke arah Hotel Sakura, tempat tinggal pemimpin sipil Jepang.
Serangan juga diarahkan ke markas Kempetai, yang letaknya di samping barak Daidan PETA Blitar.Dalam pemberontakan itu juga dilakukan pengibaran bendera merah putih di depan markas PETA Blitar yang dilakukan oleh Shodanco Partohardjono.
Konon bendera merah putih sempat berkibar selama kurang lebih dua jam sebelum diturunkan. Pemberontakan itu langsung direspons Jepang dengan pengerahan pasukan dan perundingan.
Blitar dikepung oleh satu peleton tentara Jepang yang datang dari Kediri dan Malang. Bahkan ratusan tentara Heiho juga dikerahkan ke Blitar.
Akhirnya semua yang terlibat dalam pemberontakan dapat ditangkap dan diajukan ke pengadilan militer.
Di antara mereka ada yang diadili sebanyak 55 orang, yang terdiri dari 2 chudanco, 8 shodanco, 35 budanco, dan 12 giyuhei.
Soeprijadi sebagai pelopor pemberontakan justru menghilang sejak kejadian. Ada yang menyebut Soeprijadi gugur dalam pertempuran.
Versi lain menyebut Soeprijadi berhasil lolos dan menghilang, lalu sering mengunjungi rekan-rekannya bahkan sempat menemui Presiden Soekarno usai Proklamasi Kemerdekaan. Namun yang pasti, hingga saat ini tidak pernah ditemukan keberadaan Soeprijadi maupun makamnya di Blitar.
IDRIS BOUFAKAR
Pilihan editor : Cerita Soeprijadi Lancarkan Pemberontakan PETA di Hari Ini 77 Tahun Silam
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.