TEMPO.CO, Jakarta - Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia merosot empat poin. Dari sebelumnya 38 pada 2021, menjadi 34 di 2022. Kondisi tersebut membuat peringkat Indonesia turun dari posisi 96 menjadi 110. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah Singapura, Vietnam, Malaysia, dan lainnya.
“Skor ini turun empat poin dari tahun 2021, atau merupakan penurunan paling drastis sejak 1995,” kata Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Wawan Suyatmiko dalam pemaparannya di Pullman Hotel, Jakarta, Selasa, 31 Januari
Eks Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK turut menanggapi anjloknya skor IPK Indonesia. Dalam sebuah siniar, mantan penyidik KPK Novel Baswedan juga menyoroti masalah ini. Dalam podcast tersebut Novel mengundang eks komisioner KPK lainnya, antara lain Aulia Postiera, Said Didu, dan Bambang Widjajanto.
Video obrolan itu Novel unggah dalam kanal Youtube-nya pada Minggu, 12 Februari 2023. Dalam kesempatan tersebut, Aulia Postiera menyampaikan pentingnya Indeks Persepsi Korupsi atau IPK. Menurutnya, IPK merupakan indeks yang dikeluarkan oleh Transparency International yang berpusat di Berlin, Jerman, di mana Indonesia juga ada perwakilannya.
“Kenapa IPK itu penting? IPK itu sebagai alat ukur global,” kata Aulia atau karib disapa Aul.
Ia menjelaskan, salah satunya adalah terkait investasi. Saat investor dari negara lain hendak berinvestasi di suatu negara, skor IPK menjadi rujukan tingkat risiko korupsi di negara tersebut. Oleh karena itu, rendahnya IPK di Indonesia kemungkinan akan berpengaruh terhadap investasi mancanegara di masa mendatang.
“Jadi ketika suatu negara mau investasi ke suatu negara lain, sebagai salah satu pertimbangan dia melihat risiko korupsi yang ada negara penyedia investasi,” jelasnya.
Selain itu, kata Aul, IPK juga merupakan alat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap korupsi. Rendahnya IPK Indonesia, sudah semestinya menjadi warning bagi banyak khalayak terkait kasus korupsi di Tanah Air. Hal itu terbukti dengan munculnya respon Presiden Joko Widodo atau Jokowi bersama jajaran.
“Dengan adanya IPK (jeblok) kita lihat kemarin kan Pak Presiden (Jokowi) didampingi Pak Menko (Polhukam Mahfud MD), didampingi ketua KPK, Kapolri, dan Kejaksaan Agung merespons IPK Indonesia yang jeblok 4 poin,” katanya. “Seingat saya, semasa saya di KPK dulu 15 tahun lebih, sampai hari ini. Baru kali ini, presiden merespons seperti itu.”
Menurut Aul, IPK jeblok 4 poin ini belum pernah itu terjadi sejak era Reformasi dimulai. Dari zaman BJ Habibie hingga Megawati Soekarnoputri, dia menyebut skor IPK Indonesia trennya mengalami kenaikan. Bambang Widjajanto menimpali, apa yang dimaksud Aul adalah hanya di pemerintahan Jokowi, IPK mengalami kenaikan.
“Maksudnya Aul itu, justru di pemerintahan Pak Joko Widodo, IPK-nya jeblok 4 poin. Sehingga orang kemudian berpikir Pak Jokowi ngapain,” kata Bambang.
Aul melanjutkannya, IPK juga penting untuk membuka pintu advokasi. Menurutnya, hasil IPK memberikan banyak manfaat dalam memulai percakapan tentang aktor anti korupsi. Fakta-fakta pentingnya IPK itu, kata dia, dirujuk dari rilis Transparency International. “IPK itu membuka pintu untuk advokasi. Hasil IPK memberikan banyak manfaat dalam memulai percakapan tentang aktor anti korupsi,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, Said Didu mengatakan bahwa benar IPK mempengaruhi persepsi orang untuk melakukan investasi. Kendati begitu, IPK jeblok tak selamanya menjadi kendala investor. Pasalnya, skor IPK bagus hanya untuk investor yang menginginkan investasi bersih atau good governance. Dia tidak menampik bahwa ada investor yang justru mencari negara dengan skor IPK jeblok.
“Saya pikir itu (IPK jeblok) sama dengan mengumumkan ke dunia bahwa investor yang mau bersih atau good governance Janganlah datang ke Indonesia saat ini. Kira-kira pengumumannya seperti itu,” kata Said.
Pilihan Editor: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Turun, Pernyataan Luhut Tak Sepakat OTT KPK Menjadi Sorotan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.