TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membongkar dan mengusut tuntas skandal perubahan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kasus syarat pemberhentian Hakim Konstitusi. Pada Oktober 2022, Hakim Mahkamah Konstitusi Aswanto diberhentikan oleh DPR RI dengan merujuk pada surat pimpinan MK Nomor 103/PUU-XX/2022.
Namun, saat surat tersebut dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra, terdapat frasa yang berubah antara yang dibacakan dengan yang diunggah situs MK. Perbedaan frasa itu diprotes karena bakal memiliki makna yang berbeda dalam pemberhentian Aswanto.
"Peristiwa ini (perubahan bunyi putusan) layak dikategorikan sebagai skandal, karena disinyalir melibatkan pihak berpengaruh di MK. Selain itu, jika benar, skandal tersebut tidak hanya melanggar etik, melainkan juga unsur pidana," kata aktivis ICW Kurnia Ramadhani, dalam keterangannya, Rabu, 8 Februari 2023.
Kurnia menjelaskan, jika dalam proses pemeriksaan MKMK ditemukan ada Hakim Konstitusi yang terlibat dalam perubahan isi putusan, maka MKMK harus menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak dengan Hormat terhadap Pelaku. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf C Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
"Merujuk pada rentetan skandal ini, ICW yakin bahwa pelakunya tidak hanya satu orang, melainkan berkomplot. Besar kemungkinan ada relasi kuasa, baik antara yang melakukan dan yang menyuruh melakukan," kata Kurnia.
Lebih jauh lagi, ICW menduga ada pihak yang sengaja mengambil keuntungan dari skandal ini. Oleh karena itu, Kurnia mendesak agar MKMK mengungkap tiga hal, pertama, siapa yang melakukan perubahan bunyi putusan MK; kedua, siapa yang menyuruh melakukan; dan ketiga, motif di balik skandal ini.
Kurnia mengingatkan soal Pasal 15 UU MK yang menegaskan syarat menjadi Hakim Konstitusi di antaranya harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela serta bersikap negarawan. Atas dasar itu, jika ada Hakim MK yang terlibat dalam skandal ini, maka sudah tidak layak lagi menjabat sebagai Hakim Konstitusi.
Sebab, secara sengaja mengubah putusan persidangan adalah perbuatan tercela secara etik, berdimensi pidana, dan amat memalukan. Jika tidak diusut tuntas, skandal ini dikhawatirkan akan semakin mendagradasi citra MK di tengah masyarakat.
Berikut ini merupakan penggalan dari surat putusan Ketua MK yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra:
"Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan...".
Putusan yang dibacakan Saldi itu berbeda pada frasa awal dengan putusan yang diunggah di situs MK. Berikut ini perbedaannya.
"Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan...".
Baca: Pakar Hukum Berharap Majelis Kehormatan MK Mampu Kembalikan Kepercayaan Publik