TEMPO.CO, Jakarta - Wacana pemilu 2024 dengan menggunakan sistem proporsional tertutup menuai polemik sejak akhir 2022 lalu. Wacana ini salah satunya diungkapkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari.
Saat itu Hasyim berkomentar tentang adanya uji materi tentang pasal sistem proporsional terbuka di Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Ia sempat mengimbau warga yang ingin maju sebagai caleg untuk menunda sosialisasi dirinya dalam bentuk baliho, spanduk, dan sejenisnya.
“Jadi, barangkali bagi calon peserta pemilu bisa bersiap-siap dan mengikuti perkembangan jika gugatan tersebut dikabulkan MK,” ujarnya pada Kamis, 29 Desember 2022.
Komentar Hasyim menggemparkan banyak elemen masyarakat dan menuai respons negatif dari mayoritas partai politik peserta pemilu, antara lain Partai Golkar, Gerindra, NasDem, Demokras, PKS, PKB, PPP, dan PAN.
Menanggapi pernyataan Ketua KPU, dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Dede Sri Kartini, menilai hal itu wajar jika disampaikan Ketua KPU. Sebab, sistem proporsional tertutup memperingan kerja KPU.
“Mereka nggak perlu ngitung macam-macam. Mereka tidak akan dikomplen oleh kandidat yang tidak terpilih. Anda mau komplen silakan saja ke ketua parpol Anda. KPU ringan kerjanya,” kata dia kepada Tempo, Selasa, 31 Januari 2023.
Namun, Dede menolak jika sistem tersebut diberlakukan kembali. “Misalnya pemilu 2024 nanti mau proporsional tertutup, itu berarti kembali ke zaman Orde Baru,” ujar Dede.
PUTRI INDY SHAFARINA
Baca juga: Dosen Unpad: Sistem Proporsional Tertutup Berarti Kembali ke Zaman Orde Baru