INFO NASIONAL – Senyawa Bisphenol A (BPA) dapat masuk ke tubuh janin yang belum dilahirkan. Hal ini diketahui ketika anak lahir dan dites ternyata sudah ada kandungan BPA di tubuhnya. Diketahui paparan BPA dari ibu pada saat hamil dan masuk ke janin.
“Jadi kita sebisa mungkin ‘BPA free’, karena kita menginginkan anak-anak menjadi generasi yang bagus di kemudian hari, bukan yang ada keterbatasan perkembangan. Kita harus lindungi anak-anak sejak dari awal,” kata anggota Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) Catherine Tjahjadi seperti dilansir Antara, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Senyawa BPA merupakan campuran bahan kimia pada plastik polikarbonat untuk air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang, botol minum bayi, dan wadah plastik makanan lainnya. Anak dan balita adalah salah satu korban terbesar dari dampak buruk senyawa berbahaya BPA.
Menurut para praktisi kesehatan yang didukung sejumlah riset terkemuka dunia, paparan BPA dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan gangguan perkembangan pada anak seperti autis, bipolar, sering tantrum, dan gangguan pada saraf bahkan dari sebelum lahir.
Catherine menuturkan, penyakit lain yang mengintai dari paparan bahan kimia BPA tidak bisa dilihat dalam waktu dekat, tapi dalam waktu jangka panjang, pada saat anak telah tumbuh menjadi dewasa. “Kalau paparannya sudah banyak maka larinya ke kanker, bukan berarti kankernya akan muncul dalam waktu satu atau dua tahun, tapi mungkin dalam periode lima tahun, 12 tahun dan bahkan sampai 20 tahun mendatang,” katanya.
Kandungan BPA tidak hanya bisa ditemukan pada kemasan makanan atau minuman, tetapi juga terdapat pada kertas struk belanja. Tinta pada kertas thermal yang dipakai untuk struk belanja memang mengandung senyawa BPA dan bisa menempel di tangan. “Sebisa mungkin jangan kita pegang, termasuk struk ATM,” kata Catherine.
Mainan anak, kata dia, juga harus dipastikan ada label bebas BPA agar aman apabila masuk ke mulut anak.
Catherine menyarankan agar setiap bepergian, keluarga membawa botol minum sendiri yang terbuat dari stainless atau kaca, untuk mencegah kontaminasi BPA ke dalam tubuh.
Dia juga menyarankan agar tidak membiasakan memanaskan makanan menggunakan wadah plastik, karena pemanasan lebih dari 100 derajat celcius bisa melepaskan partikel BPA dari kemasan plastiknya. Hal itu senada dengan yang diungkapkan sejumlah pakar Kesehatan melalui Webinar bertema “Mengenal BPA dari Rumah” yang diselenggarakan Cerdik Sehat, ParentTalk dan Rumah Sakit Mayapada, beberapa waktu lalu.
“Bahaya BPA tidak serta merta berefek. Contohnya gangguan hormon pada anak atau balita yang sedang tumbuh,” kata neonatologist, dr. Daulika Yusna, praktisi kesehatan di sebuah rumah sakit besar di Jakarta. “Gangguan lainnya dapat memicu kanker, jika BPA dikonsumsi terus menerus.”
Dokter spesialis kandungan dr. Darrel Fernando mengatakan, masyarakat perlu lebih aktif meneliti kode kemasan dan bahan kemasan makanan atau minuman yang akan digunakan.“Kita harus lebih teliti melihat kode plastik pada setiap produk yang kita gunakan,” katanya.
Kode plastik nomor 7 (jenis plastik polikarbonat yang biasa digunakan untuk AMDK galon bekas pakai), menurutnya, perlu diperhatikan dalam kemasan makanan atau minuman. Kode plastik nomor 7 lazimnya mengandung senyawa berbahaya BPA.
“Masalah BPA adalah migrasi atau berpindahnya zat kimia BPA yang ada pada kemasan makanan ke dalam produk pangan,” kata pakar teknologi pangan Dr-Ing. Azis Boing Sitanggang. “Kita akan terpapar jika mengonsumsi produk pangan yang terkontaminasi BPA. Hindari risiko dengan mengurangi paparan.”
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan, pihaknya sangat peduli terhadap perlindungan anak-anak dari bahaya penggunaan bahan kimia BPA bagi kesehatan anak-anak. “Saat ini, masih banyak masyarakat yang belum paham terkait dengan produk-poduk plastik dan dampaknya bagi kesehatan,” katanya dilansir dari sumber yang sama.
Komnas PA meminta agar pemerintah selaku regulator segera membuat aturan yang tegas untuk pelabelan produk ‘Bebas BPA’. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan juga didesak agar segera membuat aturan yang jelas terkait informasi BPA. “Urgensi pelarangan BPA di Indonesia sudah sangat mendesak. Regulator diperlukan kehadirannya dalam mengontrol produksi plastik berbahan kimia berbahaya,” kata Arist.
Peringatan para pakar kesehatan tentang bahaya plastik polikarbonat yang mengandung BPA terhadap anak dan balita sudah sering dilakukan, tetapi bisnis air kemasan galon guna ulang terus meningkat tiap tahun karena minimnya informasi tentang bahaya BPA.
Hingga saat ini, pemerintah juga belum menyepakati regulasi yang dikeluarkan BPOM untuk memberi label peringatan tentang bahaya BPA pada AMDK galon guna ulang. Masa depan kesehatan anak dan balita Indonesia sungguh dipertaruhkan.