TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum Putri Candrawathi, Febri Diansyah dan Sarmauli Simangusong menyatakanl alat bukti poligraf yang digunakan jaksa penuntut umum untuk menuntut kliennya merupakan hal yang valid. Menurutnya poligraf kurang konsisten untuk menuntut perihal perselingkuhan karena mengabaikan hasil psikologi forensik bahwa dirinya sedang mengalami pelecehan seksual dan terkesan cacat hukum.
"Jaksa penuntut umum mengesampingkan alat bukti berupa hasil pemeriksaan psikologi forensik," ujarnya pada sidang pledoi Putri Candrawathi 25 Januari di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Febri menyatakan hasil poligraf didapatkan bertentangan dengan Peraturan Kapolri No 10 Tahun 2009 di mana pemeriksaan dilakukan saat kondisi terdakwa sedang tertekan.
Pengacara Putri lainnya, Sarmauli Simangusong mengatakan tes poligraf dijadikan alat bukti berbohong tentang perselingkuhan merupakan cacat hukum dan proses pelaksanaannya ketika emosi sedang tidak stabil.
"Hasil pemeriksaan poligraf cacat hukum dan proses pelaksanaan tes poligraf dilakukan pada saat kondisi psikologis dan emosi terdakwa terguncang," ujarnya.
Sarmauli mengatakan hal itu dibuktikan dengan pembenaran ahli poligraf, Aji Febriyanto mengatakan bahwa terdakwa selalu menangis saat diminta keterangan. "Di samping itu, ahli poligraf Aji Febriyanto membenarkan terdakwa selalu menangis saat diminta menceritakan kejadian," ucapnya.
Febri Diansyah mengatakan seharusnya jaksa fokus pada rekomendasi dari Konas HAM yaitu tindak lanjut adanya dugaan kekerasan seksual Putri Candrawathi, bukan mengaburkan fakta dengan hasil poligrafi yang tifak valid.
"Berdasarkan rekomendasi Komnas HAM membuktikan bahwa kekerasan seksual yang dilakukan korban adalah benar, namun sayangnya fakta tersebut justru dikaburkan jaksa menggunakan hasil poligraf," katanya.