TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum terdakwa Putri Candrawathi menyayangkan jaksa penuntut umum membawa isu perselingkuhan dalam pertimbangannya dalam menuntut kliennya delapan tahun penjara.
Kuasa hukum mengingatkan, meski tidak ditulis secara eksplisit dalam Surat Tuntutan a quo, terdapat pernyataan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana pada konferensi Pers di gedung Jampidum Kejaksaan Agung Ri pada Kamis, 9 Januari 2022, yang pada pokoknya menyatakan “isu perselingkuhan hanyalah bumbu dan tidak akan dibuktikan Penuntut Umum dalam perkara a quo.”
“Kami sangat menyayangkan dicantumkannya isu perselingkuhan dalam Surat Tuntutan a quo ataupun Surat Tuntutan terdakwa lainnya (saksi Kuat Ma’ruf). Rantai besi dimakan bubuk, tuduhan tidak masuk akal yang disampaikan Penuntut Umum tidak sesuai pada fakta dan hanya berdasarkan asumi jelas sangat menyakitkan dan berdampak sangat buruk kepada Terdakwa, anak-anak dan keluarga Terdakwa,” kata kuasa hukum Putri Candrawathi, Sarmauli Simangunsong, saat membacakan pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 25 Januari 2023.
Padahal, ucap Sarmauli, jaksa penuntut umum hanya berasumsi dalam surat tuntutannya yang menuduh Putri berbohong soal perselingkuhan. Kuasa hukum menilai tuduhan ini seolah-olah membuat kekerasan seksual terhadap Putri bukanlah peristiwa yang sebenarnya dan bagian skenario dari terdakwa untuk menutupi kejadian sebenarnya.
“Kesimpulan Penuntut Umum tersebut bersifat asumsi dan tidak berdasarkan fakta persidangan, karena Penuntut Umum hanya bersandar pada hasil pemeriksaan poligraf yang cacat hukum, dan proses pelaksanaan tes poligraf tersebut dilakukan pada saat kondisi psikologis dan emosi Terdakwa sedang terguncang karena dipaksa untuk mengingat dan menceritakan kembali peristiwa kekerasan seksual yang dialami oleh Terdakwa kepada ahli poligraf yang melakukan tes,” ujar Sarmauli.
Kuasa hukum mengatakan hasil tes poligraf tersebut merupakan pesanan dari penyidik pada Kasubdit I Dittipidum bernama Wira. Hal ini didasarkan keterangan Ahli Poligraf Aji Febriyanto Arrosyid di bawah sumpah pada 14 Desember 2022, yang menyatakan pertanyaan tes poligraf yang diajukan kepada Putri merupakan pesanan dari Wira. Wira menitipkan pertanyaan kepada Aji Febriyanto Arrasyid mengenai apakah terdakwa berselingkuh dengan Korban.
“Pertanyaan tersebut digunakan sebagai pertanyaan yang relevan untuk ditanyakan kepada Terdakwa, padahal secara materi, pertanyaan tersebut tidak ada relevansinya dengan perkara a quo,” kata kuasa hukum.
Selain itu, kuasa hukum menegaskan tidak ada dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP) maupun saksi yang pernah menyatakan satu pun kata “perselingkuhan”. Selain itu, Ahli poligraf pada saat melakukan pemeriksaan tidak diberikan kewenangan untuk menyusun pertanyaan tersebut.
“Sehingga jelas terbukti pertanyaan dalam tes poligraf merupakan pertanyaan intimidatif kepada korban pemerkosaan, sehingga patut diduga hasilnya pun menjadi tidak kredibel,” ujar Sarmauli.
Dalam pembacaan tuntutan terhadap terdakwa Kuat Ma’ruf, jaksa penuntut umum menyebut terdakwa Kuat Ma’ruf mengetahui ada perselingkuhan antara Putri Candrawathi dan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, yang kemudian menjadi pemicu pembunuhan terhadap Yosua.
"Fakta hukum bahwa benar pada hari Kamis tanggal 7 Juli 2022, sekira sore hari di rumah Ferdy Sambo di Magelang, terjadi perselingkuhan antara korban J dengan saksi PC," kata jaksa saat pembacaan tuntutan Kuat Ma’ruf, 16 Januari 2023.
Dalam perkara ini Putri Candrawathi, Ferdy Sambo, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada E, didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap Yosua. Pada Oktober lalu, mereka didakwa dengan Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Tuntutan Putri serupa dengan tuntutan terhadap Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf, yakni 8 tahun penjara. Adapun Ferdy Sambo, yang merupakan suami Putri Candrawathi, dituntut jaksa hukuman penjara seumur hidup. Sedangkan Richard Eliezer dituntut 12 tahun penjara karena menjadi eksekutor Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Baca juga: Putri Candrawathi Sebut Anaknya Hadapi Hinaan dan Cemoohan karena Kasus Pembunuhan Yosua
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.