TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Fadlul Imansyah menyebut kenaikan biaya haji 2023 melalui perubahan persentase subsidi perlu dilakukan agar nilai manfaat para jemaah tunggu tidak tergerus. Menurut Fadlul, jika skema subsidi lama diteruskan pada kloter jemaah haji tahun ini, dikhawatirkan seluruh nilai manfaat jemaah akan tergerus habis sebelum 2027.
Pada tahun lalu, pemerintah menggunakan skema 40:60 untuk Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), yakni 40 persen biaya ditanggung jemaah sebagai Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dan 60 persen BPIH disubsidi menggunakan nilai manfaat. Pada tahun 2023, proposionalnya diusulkan berubah menjadi 70 persen ditanggung jemaah dan 30 persen diusulkan nilai manfaat.
Baca Juga:
"Kalau kami hitung di bawah 70:30 itu kekhawatirannya akan menggerus nilai manfaat jemaah haji yang akan berangkat di tahun berikutnya," ujar Fadlul di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa, 24 Januari 2023.
Fadlul menjelaskan, BPKH hanya bisa memberikan subsidi maksimal Rp30 juta per jemaah haji. Jika menggunakan skema persentase subsidi tahun 2022, Fadlul menyebut nilai subsidi yang diberikan akan membengkak hingga dua kali lipat.
Hal itu dapat mengakibatkan nilai manfaat milik jemaah tunggu ikut terpakai. Konsekuensinya, jemaah tunggu bisa menunggu waktu keberangkatan lebih kama karena dananya telah dipakai jemaah yang berangkat.
Oleh karena itu, Fadlul menyebut usulan skema subsidi Kementerian Agama sebesar 70:30 dirasa BPKH itu sudah pas.
"Jadi keuangan BPKH baik-baik saja. Tapi kalau itu (persentase subsidi) kita buat sama dengan tahun lalu, itu kitanya yang jadi salah. Kita akan bertemu satu titik haji setahun berangkat 2 kali di tahun 2027. Betul ada nilai manfaat Rp20 triliun yang terkumpul, tapi itu akan tergerus dan tidak akan sampai 2027," kata Fadlul.
Baca: Biaya Haji Diusulkan Naik, Biro Perjalanan : Biaya Umrah Tidak Terpengaruh
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.