BPIH pada dasarnya merupakan biaya keseluruhan yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan haji. Sedangkan Bipih adalah biaya yang harus dikeluarkan jemaah untuk ikut haji.
Kemenag mengusulkan BPIH tahun ini naik dibanding 2022 sebesar Rp 514.888,02. Sebab, rata-rata BPIH yang diusulkan tahun ini adalah Rp 98,89 juta Sementara rerata BPIH 2022 sebesar Rp98,37 juta.
Bipih pun tetap naik karena terjadi perubahan skema persentase komponen Bipih dan nilai manfaat. Pemerintah mengajukan skema yang lebih berkeadilan dengan komposisi 70 persen Bipih dan 30 persen nilai manfaat dari dana jemaah yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)
Hilman mengklaim perubahan skema ini dilakukan untuk menjaga agar nilai manfaat yang menjadi hak seluruh jemaah haji Indonesia. "Termasuk yang masih mengantre keberangkatan, tidak tergerus habis," kata dia.
Menurut dia, pemanfaatan dana nilai manfaat sejak 2010 sampai dengan 2022 terus mengalami peningkatan. Pada 2010, nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal yang diberikan ke jemaah hanya Rp 4,45 juta.
Sementara Bipih yang harus dibayar jemaah sebesar Rp 30,05 juta. Sehingga saat itu, Komposisi nilai manfaat hanya 13 persen, sementara Bipih 87 persen.
Dalam perkembangan selanjutnya, komposisi nilai manfaat terus membesar. Mulai dari 19 persen (2011 dan 2012), 25 persen (2013), 32 persen (2014), 39 persen (2015), 42 persen (2016), 44 persen (2017), 49 persen (2018 dan 2019).
Namun kemudian Saudi menaikkan layanan biaya Masyair secara signifikan jelang dimulainya operasional haji 2022, Di mana jemaah sudah melakukan pelunasan. Sehingga, penggunaan dan nilai manfaat naik hingga 59 persen. "Kondisi ini sudah tidak normal dan harus disikapi dengan bijak," kata Hilman.
Jika komposisi Bipih 41 persen dan nilai manfaat 59 persen dipertahankan, Hilman memperkirakan nilai manfaat tersebut akan cepat habis. "Padahal jamaah yang menunggu 5-10 tahun akan datang juga berhak atas nilai manfaat," kata dia.
Hilman menegaskan nilai manfaat bersumber dari hasil pengelolaan dana haji yang dilakukan BPKH. Oleh sebab itu, nilai manfaat adalah hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk lebih dari 5 juta yang masih menunggu antrean berangkat.
Mulai sekarang dan seterusnya, kata dia, nilai manfaat harus digunakan secara berkeadilan guna menjaga keberlanjutan. Tapi di sisi lain, Hilman menyebut kementerian mendorong BPKH untuk terus meningkatkan investasinya baik di dalam maupun luar negeri, pasca pandemi Covid-19 ini. "Sehingga kesediaan nilai manfaat lebih tinggi lagi," kata dia.
Untuk itulah, kata Hilman, kementerian mengusulkan perubahan skema menjadi Bipih 70 persen dan nilai manfaat 30 persen. Ia menyadari usulan ini tidak populer.
"Tapi Pak Menteri melakukan ini demi melindungi hak nilai manfaat seluruh jemaah haji sekaligus menjaga keberlanjutannya," kata dia.
Usulan ini pun masih dibahas pemerintah dan DPR. "Kita tunggu kesepakatannya, semoga menghasilkan komposisi paling ideal! Amin," ujar Hilman.