TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM meminta Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dan Mahkamah Agung RI untuk mengawasi persidangan empat terdakwa anggota TNI kasus mutilasi sipil di Kabupaten Mimika, Papua.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mendesak agar persidangan dilakukan secara independen dan imparsial, sesuai dengan prinsip persidangan yang adil menurut Undang-undang HAM dan Konvenan Hak Sipil dan Politik.
“Komnas HAM RI meminta Panglima TNI untuk melakukan pengawasan terhadap proses peradilan dan penegakan hukum agar berjalan efektif dan akuntabel. Selain itu, kami juga meminta Mahkamah Agung RI untuk pengawasan terhadap perangkat peradilan yang menyidangkan terdakwa anggota militer maupun sipil agar proses peradilan dan penegakan hukumnya berjalan efektif dan akuntabel,” kata Atnike dalam keterangan resminya, Sabtu, 21 Januari 2023.
Permintaan ini disampaikan Komnas HAM karena proses peradilan kasus mutilasi tersebut masih belum transparan dan efektif. Berdasarkan temuan dan hasil pemantauan Komnas HAM, keluarga korban dan masyarakat bisa mengikuti langsung sidang namun informasi mengenai jadwal sidang tidak jelas. Misalnya, situs laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) memuat jadwal tidak sesuai sehingga keluarga korban kesulitan untuk mengetahui jadwal pasti guna mengikuti dan memastikan seluruh tahapan persidangan berjalan dengan baik.
Komnas HAM menilai ruang sidang juga kurang proposional untuk mengakomodasi jumlah keluarga korban dan masyarakat yang ingin mengikuti proses persidangan, dengan jumlah pengunjung sidang sekitar 50- 100 orang. Ini mengakibatkan pengunjung lanjut usia dan kelompok rentan terpaksa berdiri di luar ruangan.
“Selain itu, pemeriksaan saksi pelaku sipil dan barang bukti yang dihadirkan melalui daring menjadi tidak efektif karena permasalahan jaringan internet. Hal ini berbeda dengan saksi dari keluarga korban yang bersedia hadir dari Kabupaten Mimika ke Jayapura guna memberikan kesaksiannya secara langsung,” ujar Atnike.
Peradilan tidak efisien
Temuan lain yakni proses peradilan mengabaikan aksesibilitas bagi keluarga untuk mengikuti seluruh tahapan persidangan. Menurut Atnike, terpisahnya proses peradilan sangat tidak efisien secara waktu dan biaya, khususnya bagi keluarga yang diperiksa sebagai saksi.
Sedangkan proses pertanggungjawaban pidana tidak maksimal karena proses hukum para terdakwa dari anggota militer dan sipil diadili secara terpisah. Saksi pelaku sipil juga tidak dapat dihadirkan secara langsung dalam persidangan terdakwa anggota TNI. Selain itu, tersangka sipil hingga saat ini belum menjalani proses persidangan melalui pengadilan umum dan informasi terakhir berkas perkara masih di pihak Kejaksaan Negeri Timika.
Keluarga korban juga tidak puas dengan konstruksi dakwaan Oditurat Militer Tinggi Makassar terhadap terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki karena menempatkan Pasal 480 KUHP sebagai dakwaan premier, Pasal 365 KUHP sebagai dakwaan pertama subsidair, sedangkan Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan pertama lebih subsidair.
“Hal ini berimplikasi pada putusan yang sangat ringan bagi pelaku sehingga kasus serupa dimungkinkan dapat terulang kembali,” tutur Atnike.
Keluarga korban dan pengacara korban menilai proses persidangan terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki terkesan dilakukan maraton. Padahal proses tahapan persidangan harus memberikan waktu yang cukup agar seluruh fakta dapat diuji dengan detil.
“Komnas HAM RI juga meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan perlindungan serta pemulihan bagi keluarga. Pasalnya, Keluarga korban menyampaikan mereka memerlukan jaminan perlindungan dan pemulihan dari LPSK selama proses persidangan kasus ini berlangsung,” ujar Atnike.
Atnike menyampaikan Komnas HAM RI melalui Kantor Perwakilan Provinsi Papua terus melakukan serangkaian proses pemantauan persidangan kasus pembunuhan dan mutilasi di Mimika yang digelar dalam tiga persidangan terpisah di PM III-19 Jayapura pada 10, 19 dan 20 Januari 2023. Yang pertama, sidang perkara nomor 404-K/PM.III-19/AD/XII/2022 menghadirkan 4 orang terdakwa, yakni Pratu Rahmat Amin Sese, Pratu Rizky Oktav Muliawan, Pratu Robertus Putra Clinsman dan Praka Pargo Rumbouw, dengan agenda pemeriksaan saksi tambahan.
Sebelumnya empat warga sipil ditemukan tewas ditemukan dengan kondisi tubuh tidak lengkap atau korban mutilasi di Mimika, Papua, pada Jumat 26 Agustus 2022. Mereka adalah Arnold Lokbere (AL), Irian Nirigi (IN), Lemaniol Nirigi (LN), dan Atis Tini (AT) diketahui berasal dari Kabupaten Nduga, Papua. Belakangan diketahui, kasus ini diduga melibatkan anggota TNI.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.