TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM melakukan pemantauan terhadap proses persidangan mutilasi empat warga Kabupaten Mimika, Papua, yang melibatkan anggota TNI. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyebut ada enam poin yang menjadi sorotan lembaganya.
Pertama, adalah minimnya kesiapan perangkat pengadilan. Hal tersebut, kata dia, seringkali menyebabkan jalannya sidang menjadi tidak efektif.
“Salah satunya adalah jadwal sidang yang tidak transparan (tidak sesuai antara jadwal dengan agenda yang tertera pada lama situs SIPP). Menyebabkan keluargan korban kesulitan mengetahui jadwal pasti sidang,” kata Atnike melalui keterangan tertulis pada Sabtu, 21 Januari 2023.
Selanjutnya, Atnike mengatakan proses pengadilan mengabaikan aksesbilitas bagi keluarga korban untuk mengikuti seluruh tahapan persidangan. Ia menyebut hal itu disebabkan dari terpisahnya proses peradilan.
“Ini sangat tidak efisien secara waktu dan biaya bagi pihak keluarga yang menjalani pemeriksaan sebagai saksi,” ujar Atnike.
Ketiga, Atnike menyebut pertanggungjawaban pidana tidak maksimal karena proses hukum terdakwa dari sipil dan militer dilaksanakan terpisah. Selain itu, kata dia, saksi dari sipil juga tidak dapat dihadirkan secara langsung dalam sidang terdakwa anggota militer.
“Di lain sisi juga berdasarkan informasi tersangka sipil saat ini belum menjalani proses persidangan melalui pengadilan umum karena berkasnya masih di Kejaksaan Negeri Timika,” kata Atnike.
Atnike juga mengatakan pihak korban tidak puas terhadap konstruksi dakwaan militer Oditurat Militer Tinggi Makassar terhadap terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki. Sebab, dia mengatakan dalam persidangan tersebut, JPU karena menempatkan Pasal 480 KUHP sebagai dakwaan primer.
“Sementara Pasal 365 KUHP sebagai dakwaan pertama subsidair dan Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan pertama lebih subsidair sehingga berimplikasi putusan sangat ringan bagi pelaku,” ucapnya.
Kelima, Atnike menyebut keluarga korban beserta kuasa hukum menilai persidangan terdakwa Helmanto Fransiskus Daki juga terkesan dilaksanakan secara maraton. Padahal, menurut dia, proses persidangan harus diberikan waktu yang cukup agar seluruh fakta dapat diuji secara detil.
“Dan poin terakhir adalah keluarga korban menyampaikan bahwa mereka memerlukan jaminan perlindungan dan pemulihan dari LPSK selama proses sidang berlangsung,” ujar dia.
Sebelumnya empat warga sipil ditemukan tewas ditemukan dengan kondisi tubuh tidak lengkap atau korban mutilasi di Mimika, Papua, pada Jumat 26 Agustus 2022. Mereka adalah Arnold Lokbere (AL), Irian Nirigi (IN), Lemaniol Nirigi (LN), dan Atis Tini (AT) diketahui berasal dari Kabupaten Nduga, Papua. Belakangan diketahui, kasus ini diduga melibatkan anggota TNI.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.