TEMPO.CO, Jakarta - Eks Anggota Dewas BPKH Muhammad Akhyar Adnan angkat bicara soal usulan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk menaikan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) atau biaya haji 1444 H/2023 M sebesar Rp69.193.733,60. Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11.
Kenaikan Bipih ini mendapat berbagai respon penolakan karena dinilai memberatkan masyarakat. Namun menurut Akhyar, kenaikan Bipih dirasa wajar jika mempertimbangkan beberapa komponen biaya haji seperti biaya pesawat, hotel, konsumsi yang mulai naik akibat turunnya nilai tukar Riyal Saudi Arabia (RSA) terhadap dolar AS.
"Sampai dengan beban masyair (layanan transportasi dan akomodasi jemaah dari Mekkah ke Arafah) yang tahun lalu naik dari SAR1500 menjadi SAR6000, maka kenaikan tersebut menjadi dapat ‘dimaklumi'" ujar Akhyar dalam keterangannya, Sabtu, 21 Januari 2023.
Dosen Prodi Akuntansi FEB UMY itu menerangkan, BPKH sudah lama membaca dan bahkan mengkaji sustainabilitas (keberlanjutan) dana haji. Intinya, kata dia, bila tidak ada perubahan kebijakan dalam pengelolaan dana haji akan ada ancaman terjadinya Skema Ponzi. Skema ini pernah terjadi pada kasus First Travel yang membuat ribuan masyarakat kehilangan uang untuk berangkat umroh.
"Ketika suatu tahun nanti, subsidi jamaah berangkat harus diambilkan dari setoran jamaah tunggu. Atas dasar ini, sudah sejak beberapa waktu yang lalu BPKH mengajak agar semua pihak menyadari hal ini dan sekaligus mengantisipasi dan melakukan mitigasi," kata Akhyar yang menjadi Anggota Dewas BPKH periode 2017-2022.
Kurangi subsidi
Untuk mengatasi ancaman Skema Ponzi tersebut, Akhyar menyarankan pemerintah perlu menghitung Bipih secara lebih realistis. Sederhananya, kata dia, dengan mengurangi besaran subsidi untuk jamaah berangkat.
Akhyar menyebut selama ini jamaah berangkat diberikan subsidi besar dengan menggunakan hak milik jamaah tunggu. Namun, Akhyar menyebut usulan BPKH ini selalu ditolak Komisi VIII DPR RI karena tidak menginginkan ada kenaikan Bipih.
"Walau itu (tidak naiknya Bipih) dilakukan secara tidak adil, karena pada hakekatnya besaran subsidi yang dulu ‘dibungkus’ dengan istilah indirect cost, adalah ‘milik’ jamaah tunggu," kata Akhyar.
Sebagai solusi atas polemik kenaikan biaya haji ini, Akhyar menyarankan agar kewajiban berhaji dikembalikan pada persyaratan yang telah diatur dalam agama, yakni pergi berhaji jika mampu. Dengan begitu, setiap jamaah yang hendak pergi haji harus membayar besaran Bipih sesuai dengan nilai yang ditentukan pemerintah.
Dengan cara ini, Akhyar menyebut BPKH tidak perlu pusing-pusing untuk memilah besaran subsidi untuk jamaah berangkat dan jamaah tunggu.
"Semua Nilai Manfaat yang dihasilkan dibagi secara proporsional untuk jamaah haji. Dengan demikian issue tahunan tentang BPIH dan Bipih selesai dengan sendirinya dan tidak perlu diributkan lagi setiap tahun," kata Akhyar.
Solusi lainnya, Akhyar menyebut pemerintah dapat secara berkala menaikan proporsi perbandingan Bipih dengan persentase Nilai Manfaat, dari 70 persen : 30 persen dilakukan perubahan menjadi 75 persen : 25 persen; 80 persen : 20 persen; 85 persen : 15 persen, dan seterusnya.
"Ini memang akan selalu mengundang perdebatan, karena tidak diketahui dasar ilmiah perbandingan 70 persen : 30 persen itu. Seperti tahun 2023 ini saja, berbagai komentar muncul, termasuk dari mereka yang sudah setiap tahun membahas BPIH dan Bipih ini," kata Akhyar.
Baca: Jokowi Naikkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, Begini Perubahannya