Kekerasan terhadap Guru Terjadi Berulang-Ulang
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Organisasi Profesi Guru mengungkapkan kejadian miris yang menimpa guru bukan terjadi kali ini saja. Mereka menyebut peristiwa semacam yang dialami guru Ulan di Gorontalo juga pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Masalah yang diangkat FSGI adalah kasus SD Negeri di Majalengka, Jawa Barat di tahun 2016 dan SD Negeri di Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 2019. FSGI mengatakan, kedua kasus tersebut akhirnya dibawa ke ranah hukum.
FSGI menceritakan kasus yang terjadi di NusaTenggar Timur (NTT). Guru atas nama Theresia Pramusrita melaporkan orang ua siswa yang memotong paksa rambutnya di hadapan para siswa lainnya ke Polres Sikka.
Sedangkan kasus di Majalengka, Guru Aop dan orang tua siswa lakukan perlawanan hukum dengan saling lapor ke instansi kepolisian. Hasilnya, guru Aop divonis bebas oleh Hakim Mahkamah Agung (MA), sedangkan orangtua siswa divonis bersalah dan dihukum tiga bulan penjara.
Heru menjelaskan, dalam ketentuan Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2015 tentang guru dan dosen (UUGD), disebutkan, guru sebagai tenaga pendidik profesional punya tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
“Selain itu, guru juga tidak hanya berwenang memberikan penghargaan terhadap siswanya, tetapi juga memberikan punishment atau sanksi kepada anak didiknya,” ujar Heru.
Heru menambahkan, kalau guru juga punya kebebasan berikan sanksi kepada peserfa didik jika ditemukan pelanggaran norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis atau tidak tertulis yang ditetapkan guru baik di peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran di bawah kewenangan guru.
"Dalam UUGD bunyi Pasal 39 ayat (1)," kata Heru.
Kendati demikian, Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menggarisbawahi kalau sanksi yang diberikan ke peserta didik sifatnya harus mendidik dan tidak diperkenankan ada unsur kekerasan, hal tersebut diatur dalam pasal 39 ayat (2) UUGD.
"Menegaskan bahwa sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan” kata Retno.
Soal pemotongan rambut oleh guru kepada siswa, menurut Retno, juga wajib disertai dengan perlindungan dan rasa aman.
Retno mengatakan organisasi guru sampai pemerintah, wajib melindungi para guru menjalankan atau menegakkan aturan dalam lingkungan tanggung jawabnya di sekolah.
"Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing," kata dia.
Seperti yang termuat dalam pasal 41 UUGD menyebutkan bahwa guru berhak mendapatkan perlindungan hukum jika didapati tindak kekerasan, ancaman, tindak diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihakpeserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
“Faktanya, seringkali guru yang mendapatkan ancaman atau intimidasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya di kelas tidak tahu harus mencari perlindungan ke mana, padahal UUGD sudah menyebutkan dengan tegas dan jelas. Perlindungan keselamatan ini berlaku ketika guru menjadi korban," kata Retno.
Baca juga: Federasi Serikat Guru Indonesia Beri Catatan soal Kebijakan Merdeka Belajar