TEMPO.CO, Jakarta - Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai argumen yang mendasari tuntutan perpanjangan jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun, merusak demokrasi.
“Saya cermati ada dua argumen yang dikemukakan kepala desa dan Budiman Soedjatmiko terkait tuntutan perpanjang masa jabatan kepala desa tersebut,” kata Ubedillah dalam keterangan tertulisnya pada Rabu, 18 Januari 2023.
Baca juga : Muhaimin Iskandar Dukung Usulan Masa Jabatan Kepala Desa Diperpanjang Jadi 9 Tahun
Argumen pertama yang disorotinya adalah anggapan bahwa masa jabatan kepala desa selama 6 tahun tidak cukup untuk mengatasi keterbelahan masyarakat desa akibat pemilihan kepala desa, sehingga tidak ada cukup waktu membangun desa. Kedua, dana untuk pemilihan kepala desa lebih baik digunakan untuk pembangunan sumber daya desa.
Menurut Ubedillah, argumen yang pertama tidak dapat dibenarkan, karena 6 tahun merupakan waktu yang cukup untuk melaksanakan program-program desa. Selain itu, kata dia, waktu 6 tahun merupakan waktu yang sangat lama untuk memerintah desa dengan jumlah penduduk rata-rata hanya puluhan ribu.
“Jadi problemnya bukan soal kurangnya waktu, tetapi minimnya kemampuan leadership kepala desa,” ujar dia.
Walaupun masa jabatan diperpanjang menjadi 9 tahun, namun masalah substansinya tidak diatasi maka kepala desa tetap tidak dapat menjelankan program-programnya dengan baik. Jadi, solusinya bukan memperpanjang masa jabatan.
Baca juga : Kata Budiman Sudjatmiko Jokowi Setuju Jabatan Kepala Desa 9 Tahun
Lalu untuk argumen kedua, Ubedillah juga menyebut argumen tersebut lemah. Pasalnya, dana pemilihan kepala desa sudah disiapkan APBN dan sudah dianggarkan sesuai peruntukannya.
“Dana itu juga tidak menguras APBN dan tidak mengganggu APBN seperti pembangunan kereta cepat dan pembangunan IKN,” katanya. Berdasarkan perhitungannya, dana untuk pemilihan kepala desa di seluruh Indonesia totalnya tidak sampai Rp 50 triliun. Apalagi, Pilkades tidak dilaksanakan secara serentak dalam waktu yang sama di seluruh Indonesia.
“Jadi secara argumen perpanjangan masa jabatan kepala desa itu lemah, dan lebih dari itu secara substantif merusak demokrasi,” pungkasnya.
Sebab, kata Ubedillah, jabatan publik yang dipilih rakyat itu dalam demokrasi harus dipergilirkan agar terhindar dari kecenderungan otoriterian dan korupsi.
Baca juga : Kepala Desa Tuntut Masa Jabatan 9 Tahun, Anggota DPR: Pemerintah Sudah Klop
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.