Tuntutan jaksa itu membuat Richard menjadi terdakwa dengan hukuman paling berat kedua diantara para terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua lainnya. Dia hanya kalah dari mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Irjen Ferdy Sambo, yang mendapatkan tuntutan penjara seumur hidup.
Sementara tiga terdakwa lainnya - Putri Candrawathi, Kuat Ma'ruf dan Ricky Rizal Wibowo - mendapatkan tuntutan delapan tahun penjara.
Richard Eliezer merupakan justice collaborator dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua tersebut. Status itu dia dapatkan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
LPSK sempat berharap Richard mendapatkan hukuman paling ringan
Wakil Ketua LPSK Susilaningtyas mengatakan sesuai Pasal 10A Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, justice collaborator bisa dikenakan tuntutan pidana bersyarat secara khusus, hukuman percobaan, dan hukuman pidana paling ringan di antara terdakwa lain.
“Kami harap tuntutan itu sesuai Pasal 10A Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban ada keringanan penjatuhan hukuman,” kata Susilaningtyas.
Richard Eliezer menyandang status sebagai justice collaborator karena membongkar skenario palsu kematian Brigadir Yosua yang dibuat oleh mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Irjen Ferdy Sambo. Richard buka suara setelah tim khusus bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menetapkannya sebagai tersangka.
Kepada penyidik, Richard Eliezer mengaku dirinya melepaskan tiga atau empat tembakan ke arah tubuh Brigadir Yosua atas perintah Ferdy Sambo. Dia pun menyatakan bahwa Sambo ikut melepaskan satu tembakan ke arah kepala Yosua.
Celotehan Richard itulah yang akhrinya membuka tabir kematian Yosua hingga akhirnya mempidanakan Kuat Ma'ruf, Ricky Rizal, Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi. Hal itu juga mengungkap adanya upaya menghalang-halangi penegakan hukum alias obstruction of justice yang dilakukan Sambo dan anak buahnya yang lain, Hendra Kurniawan cs.