TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum mengatakan peran Richard Eliezer Pudihang Lumiu sebagai eksekutor pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat menjadi hal yang memberatkannya sehingga dia mendapatkan tuntutan 12 tahun. Richard menjadi terdakwa dengan hukuman terberat kedua dalam perkara ini.
“Hal yang memberatkan adalah karena terdakwa merupakan eksekutor yang mengakibatkan hilangnya nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat,” kata jaksa sebelum membacakan tuntutan di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 18 Januari 2023.
Selain itu, menurut jaksa, hal memberatkan lainnya karena perbuatan Richard menimbulkan duka mendalam bagi keluarga Brigadir Yosua. Peristiwa pembunuhan itu, menurut jaksa juga menimbulkan keresahan, serta kegaduhan yang meluas di masyarakat.
“Kami jaksa penuntut umum menuntut majelis hakim agar menyatakan Richard Eliezer terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana merampas nyawa orang secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dakwaan Primer melanggar Pasal 340 Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Pidana. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer dengan pidana penjara selama 12 tahun dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan, dipotong masa penahanan,” kata jaksa.
Richard Eliezer terlihat menangis sesenggukan saat mendengar jaksa menuntutnya 12 tahun penjara. Selepas jaksa membaca tuntutan, Richard tampak berdiri, kemudian mendekati meja tim kuasa hukumnya. Kuasa hukum Richard, Ronny Talapessy, pun merangkul kliennya tersebut.
Sementara itu, para pendukung Richard Eliezer membuat gaduh ruang sidang setelah mendengar tuntutan jaksa. Majelis hakim bahkan sempat mengusir penggemar Richard dari ruang sidang.
Dalam tuntutannya, jaksa menyimpulkan Richard Eliezer telah memenuhi unsur perbuatan pembunuhan berencana sebagaimana yang telah didakwakan dalam dakwaan Pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat ke-1 KUHP.
Richard menjadi terdakwa dengan tuntutan kedua paling berat
Tuntutan jaksa itu membuat Richard menjadi terdakwa dengan hukuman paling berat kedua diantara para terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua lainnya. Dia hanya kalah dari mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Irjen Ferdy Sambo, yang mendapatkan tuntutan penjara seumur hidup.
Sementara tiga terdakwa lainnya - Putri Candrawathi, Kuat Ma'ruf dan Ricky Rizal Wibowo - mendapatkan tuntutan delapan tahun penjara.
Richard Eliezer merupakan justice collaborator dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua tersebut. Status itu dia dapatkan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
LPSK sempat berharap Richard mendapatkan hukuman paling ringan
Wakil Ketua LPSK Susilaningtyas mengatakan sesuai Pasal 10A Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, justice collaborator bisa dikenakan tuntutan pidana bersyarat secara khusus, hukuman percobaan, dan hukuman pidana paling ringan di antara terdakwa lain.
“Kami harap tuntutan itu sesuai Pasal 10A Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban ada keringanan penjatuhan hukuman,” kata Susilaningtyas.
Richard Eliezer menyandang status sebagai justice collaborator karena membongkar skenario palsu kematian Brigadir Yosua yang dibuat oleh mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Irjen Ferdy Sambo. Richard buka suara setelah tim khusus bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menetapkannya sebagai tersangka.
Kepada penyidik, Richard Eliezer mengaku dirinya melepaskan tiga atau empat tembakan ke arah tubuh Brigadir Yosua atas perintah Ferdy Sambo. Dia pun menyatakan bahwa Sambo ikut melepaskan satu tembakan ke arah kepala Yosua.
Celotehan Richard itulah yang akhrinya membuka tabir kematian Yosua hingga akhirnya mempidanakan Kuat Ma'ruf, Ricky Rizal, Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi. Hal itu juga mengungkap adanya upaya menghalang-halangi penegakan hukum alias obstruction of justice yang dilakukan Sambo dan anak buahnya yang lain, Hendra Kurniawan cs.