TEMPO.CO, Jakarta - Kontestasi wacana tentang sistem pemilihan yang akan digunakan pada Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 semakin kencang. Setidaknya delapan partai menyatakan menolak pemberlakuan sistem proporsional tertutup. Sementera itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tercatat sebagai satu-satunya partai politik yang mendukung pemberlakuan sistem tersebut.
Sistem proporsional tertutup adalah sistem pemilihan yang digunakan di Indonesia sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008. Putusan tersebut menandai peralihan sistem pemilihan dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka. Lantas, mengapa MK mengambil keputusan tersebut?
Dikutip dari Putusan tersebut, MK menyatakan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kedudukan hukum mengikat.
Pasal tersebut mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Apabila jumlah calon lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai, maka kursi diberikan kepada calon dengan nomor urut lebih kecil.
Keberadaan pasal tersebut telah menghilangkan makna pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, keberadaan pasal tersebut dinilai menunjukkan upaya pembuat undang-undang memberikan kewenangan penuh kepada partai politik dalam mengatur calegnya agar terpilih dengan menempatkannya pada nomor urut terkecil, padahal caleg tersebut belum tentu diterima/dikehendaki oleh rakyat.
MK kemudian menyatakan pasal tersebut tidak berlaku karena dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Pasal tersebut dinilai mengandung standar ganda yang menjadikan hukum diberlakukan secara berbeda untuk keadaan yang sama. Hal itu berpotensi menciptakan ketidakadilan
HAN REVANDA PUTRA
Baca juga: Makin Panas Penolakan Sistem Proporsional Tertutup, Apa Bedanya dengan Sistem Terbuka?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.