TEMPO.CO, Jakarta - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat kebijakan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi yang paling menghebohkan dan menimbulkan pro kontra di lapangan adalah “Merdeka Belajar” yang berjilid-jilid.
FSGI menemukan di lapangan kebijakan yang sebenarnya bagus secara konsep. Namun sayangnya tidak berhasil membumi sehingga menimbulkan potensi Pendidikan Indonesia tengah berada pada fase konflik.
“Cerita Merdeka Belajar yang berjilid-jilid dan tidak pernah selesai seakan menuju akhir episode yang menghawatirkan. Gagasan kebijakan sampai implementasi di lapangan masih jauh panggang dari api,” kata Heru Purnomo Sekretaris Jenderal FSGI, dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 30 Desember 2022.
Heru menuturkan Merdeka Belajar yang diusung Kemendikbudristek ini memiliki tujuan untuk mencapai pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia melalui transformasi pada empat hal, yakni infrastruktur dan teknologi, kebijakan, prosedur dan pendanaan untuk kepemimpinan masyarakat dan budaya serta kurikulum pedagogis dan penilaian (asesmen).
“Namun tampaknya di level pemahaman kebijakan ini saja, masih jauh dari harapan,” kata Heru.
Sejak konflik merek Merdeka Belajar FSGI selaku organisasi profesi guru telah memberikan kritik dan rekomendasinya. Namun kebijakan ini terus ditayangkan, bahkan kini telah mencapai 22 Episode.
“Benarkah semuanya telah menuju kearah transformasi Pendidikan Indonesia, apakah setiap episodenya berjalan berkesinambungan, apakah dapat terlihat masa depan pendidikan Indonesia yang berkualitas ataukah justru terbaca tujuan spekulatif yang tidak berkelanjutan?” ujar Mansur, Wakil Sekjen FSGI.
Mansur mengatakan terobosan Merdeka Belajar Episode-1 dengan empat bidang sasaran, yaitu mengganti Ujian Nasional menjadi Asesmen Nasional, bahkan membatalkan UN 2020, menghapus USBN yang bertepatan dengan Pandemi Covid-19, menyederhanakan RPP menjadi 1 Lembar, menyesuaikan kuota jalur prestasi maupun zonasi.
“Kebijakan ini telah cukup memberi angin segar pendidikan Indonesia ketika itu. Kenyataannya adalah tidak semua episode Merdeka Belajar berdampak bagi pendidikan, bahkan tidak sedikit yang dinilai kontra produktif terhadap kelangsungan program pendidikan di Indonesia,” kata Mansur yang juga guru dan wakil kepala sekolah di Lombok Barat.
Ketika Episode-4 Program Organisasi Penggerak (POP) diluncurkan, berbagai reaksi ketidak percayaan publik mengemuka. “FSGI memberikan kritik keras dimulai dari proses rekrutmen hingga model impelementasinya. Apa yang terlihat hingga paruh kedua tahun bukanlah sebuah kemajuan yang diharapkan,” kata Eka Ilham, Kepala Bidang Diklat FSGI.
Eka mengatakan berdasarkan fakta lapangan diketahui kebanyakan pelatihan model online yang diikuti oleh para guru sekolah sasaran sebatas pelatihan 1-3 jam atau paling lama dengan durasi 3 hari. Selain itu, pelatihan ini kebanyakan berisi teori tanpa dibekali praktik dan tidak disertai pendampingan. Eka menuturkan kebanyakan guru justru bingung saat akan mencoba mengimplementasikan karena tidak ada contoh-contoh praktik yang sudah dilakukan.
“Akibatnya, pelatihan hanya tinggal pelatihan yang berujung sekedar pengetahuan tanpa implementasi,” ujarnya.
Adapun Episode-5 Program Guru Penggerak (PGP) dimaksudkan sebagai Program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin-pemimpin di masa depan yang mewujudkan SDM unggul Indonesia. FSGI menilai secara konsep program ini sangat baik dan jika berhasil dipercaya dapat menjadi program yang akan berdampak besar pada pendidikan di Indonesia.
“Namun, fakta lapangan menunjukkan bahwa proses seleksi dan pelatihan yang lama bagi Calon Guru Penggerak (CGP) bukannya menjamin perubahan paradigma pembelajaran pada CGP, tetapi justru telah menyita waktu dan tenaga para CGP. Bahkan banyak tugas-tugas pokok guru yang mereka abaikan hanya untuk mengejar status lulus”, kata Fahmi Hatib, Presidium FSGI.
Kebijakan Kemendikbudristek pada program guru penggerak, sebagian besar energi Merdeka Belajar dikerahkan kepada guru penggerak. “Iming-iming calon kepala sekolah, bahkan perubahan nama kantor menjadi serba guru penggerak hanya akan berdampak pada kuantitas yang belum tentu berkelanjutan,” kata Fahmi yang juga kepala sekolah di kabupaten Bima.
Padahal, pola pembelajaran daring melalui LMS dengan sesekali pertemuan luring tidak sepenuhnya mengubah pola pikir dan pola tindak CGP. “Apalagi kriteria lulus yang lebih bersifat administratif belaka hanya mengejar kuantitas dan sangat jauh dari cita-cita perubahan paradigma pembelajaran yang berkualitas”, kata Fahriza Marta Tanjung, Wakil Sekjen FSGI.
Selanjutnya: komunikasi dan kordinasi tidak sesuai harapan...