TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja alias Perpu Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. YLBHI menilai Perpu ini sebagai bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap konstitusi Indonesia.
"Merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo," kata Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, 30 Desember 2022.
Perpu ini dinilai semakin menunjukkan bahwa Jokowi tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis. "Melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK (Mahkamah Konstitusi)," kata Isnur.
Jokowi, kata Isnur, menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri tanpa memerlukan pembahasan di DPR. Jokowi juga dinilai tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi.
"Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis," kata dia.
Sebelumnya pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Walhasil, MK meminta UU ini diperbaiki dalam dua tahun. Tapi kini Jokowi menerbitkan Perpu Cipta Kerja karena alasan Perang Rusia-Ukraina berpengaruh ke perekonomian. Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak. "Kita menghadapi resesi global peningkatan inflasi kemudian ancaman staglasi," kata Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md juga menyebut Perpu ini alasan kegentingan memaksa untuk penerbitan Perpu sudah terpenuhi sesuai dengan Putusan MK Nomor 38/PUU7/2009. Akan tetapi, Isnur menilai syarat penerbitan Perpu ini belum terpenuhi.
"Dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah alasan yang mengada-ada dan tidak masuk akal dalam penerbitan Perpu ini," kata Isnur.
Isnur pun menilai penerbitan Perpu Cipta Kerja ini menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan pemerintahan Jokowi, demi memfasilitasi kehendak investor dan pemodal. Untuk itu, YLBHI menyampaikan lima sikap atas kebijakan Jokowi ini.
1. Mengecam penerbitan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
2. Menuntut Presiden melaksanakan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK
3. Menarik kembali Perpu Nomor 2 Tahun 2022
4. Menyudahi kudeta dan pembangkangan terhadap Konstitusi
5. Mengembalikan semua pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Prinsip Konstitusi, Negara Hukum yang demokratis, dan Hak Asasi Manusia.
Di Istana Negara, Jakarta, Jokowi merespons kritikan terhadap Perpu ini. Ia menegaskan Perpu ini diterbitkan karena ada ancaman-ancaman resiko ketidakpastian global.
"Untuk memberikan kepastian hukum, kekosongan hukum yang dalam persepsi para investor dalam dan luar, sebetulnya itu yang paling penting," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Negara.
Jokowi menyebut kondisi saat ini memang terlihat normal. Akan tetapi, Jokowi mengklaim bahwa Indonesia diintip oleh ancaman-ancaman ketidakpastikan global.
Untuk kesekian kalinya, Jokowi kembali menyinggung bahwa 14 negara sudah menjadi pasien International Monetary Fund (IMF).
Lalu, ada 28 negara lagi yang antre untuk menjadi pasien IMF. "Ini sebetulnya dunia ini sedang tidak baik-baik saja," kata dia.
Itu kemudian yang jadi alasan Jokowi menerbitkan Perpu Cipta Kerja. "Karena ekonomi kita di 2023 sangat tergantung investasi dan ekspor," ujar kepala negara.
Baca: Jokowi Jawab Kritik Perpu Cipta Kerja: untuk Kepastian Hukum Investor