TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menilai sistem Pemilihan Umum proporsional terbuka memiliki dampak buruk dibandingkan proporsional tertutup yaitu telah menciptakan liberalisasi politik. Ia menyebut sudah melakukan penelitian khusus ihwal kondisi liberalisasi politik yang mendorong partai politik menjadi partai elektoral. Dampaknya, kata dia, muncul kapitalisasi politik, oligarki politik, hingga persaingan bebas dengan segala cara.
Oleh sebab itu, Hasto menerangkan kongres ke-V PDIP memutuskan sistem Pemilu anggota legislatif dengan proporsional tertutup sudah sesuai dengan perintah konstitusi. Dia menjelaskan, sistem ini akan mendorong proses kaderisasi parpol dan berdampak pada pencegahan berbagai bentuk liberalisasi politik.
“Selanjutnya juga memberikan insentif bagi meningkatkan kinerja di DPR, dan pada saat bersamaan karena ini adalah Pemilu serentak antara Pileg dan Pilpres, maka berbagai bentuk kecurangan bisa ditekan,” kata Hasto usai acara Refleksi Akhir Tahun 2022 DPP PDIP, Jumat, 30 Desember 2022.
Selain itu, dia melanjutkan, sistem proporsional tertutup bisa menekan biaya Pemilu mengingat kondisi perekonomian saat ini sedang menghadapi berbagai persoalan. Sehingga, PDIP berpandangan kiranya sistem ini bisa ditetapkan. “Tetapi, hal itu sekiranya jadi ranah dari DPR terkait hal tersebut,” ujarnya.
Adapun gugatan uji materiil soal sistem proporsional terbuka ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir November lalu. Salah satu pemohon perkara adalah pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono. Selain itu, pemohon juga terdiri atas anggota Partai NasDem Yuwono Pintadi dan empat warga sipil yakni Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Sebelumnya, dalam sambutan acara Catatan Akhir Tahun 2022 Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan ada kemungkinan Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup. Ia turut mengimbau untuk tidak melakukan kampanye dini mengingat kemungkinan ini masih terbuka.
"Maka dengan begitu menjadi tidak relevan, misalkan saya mau nyalon pasang gambar-gambar di pinggir jalan, jadi nggak relevan. Karena apa? Namanya nggak muncul lagi di surat suara. Nggak coblos lagi nama-nama calon. Yang dicoblos hanya tanda gambar parpol sebagai peserta pemilu," kata Hasyim di Kantor KPU, Kamis, 29 Desember 2022.
Putusan MK yang menentukan
Hasyim menjelaskan, hal tersebut hanya sebatas asumsi berdasarkan adanya gugatan di Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Kepemiluan saat ini. Jadi, kata dia, sistem proporsional tertutup bukanlah usulan dari KPU, melainkan dari kondisi faktual kepemiluan yang terjadi saat ini.
"Jadi barangkali bagi calon peserta pemilu bisa bersiap-siap dan mengikuti perkembangan jika gugatan tersebut dikabulkan MK," kata Hasyim.
Adapun pelaksanaan Pemilu 2024 dengan sistem proporsional tertutup disebut Hasyim kemungkinan tidak terealisasi. Dia mengatakan penggunaan sistem ini bergantung pada putusan MK.
"Jadi ini diskursus ini berasal dari proses sidang yang berlangsung di MK. Jangan seolah-olah ditulis ini merupakan rencana KPU," ujarnya.
Hasyim menambahkan, sejatinya pernyataannya tersebut merupakan bentuk antisipasi jika judicial review dikabulkan MK. Sehingga, kata dia, polemic terhadap para calon peserta pemilu bisa dihindari.
"Kan sayang kalau sudah pasang gambar wajah dimana-mana tapi pada akhirnya di surat suara hanya ada gambar partai," kata Hasyim.
IMA DINI SHAFIRA | MIRZA BAGASKARA
Baca: PSI Anggap Pemilu dengan Sistem Proporsional Tertutup Khianati Demokrasi