TEMPO.CO, Jakarta -SETARA Institute dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menganalisis ada peningkatan skor subindikator Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) karena menurunnya jumlah kasus, terutama ihwal gangguan rumah ibadah.
Hal ini diungkapkan SETARA Institute dan INFID dalam ringkasan eksekutif Indeks Kinerja HAM 2022 yang dirilis pada Sabtu, 10 Desember 2022. Berdasarkan laporan penelitian itu, subindikator Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan pada indikator Hak Sipil dan Politik (Sipol) menempati skor tinggi 3,7 dari rentang 1-7 dibandingkan subindikator lain.
Data monitoring SETARA menemukan pada rentang Januari-September 2022, gangguan rumah ibadah yang tercatat adalah sebanyak 32, lebih sedikit apabila dibandingkan dengan 2021. Selain itu, perbaikan dalam sisi regulasi juga mendorong bertambahnya skor pada indikator KBB. Pemerintah melalui Kementerian Agama tengah menggencarkan penyusunan dua Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres), yaitu Ranperpres tentang Penguatan Moderasi Beragama dan Ranperpres tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.
“Selain di tingkat nasional, fenomena daerah-daerah yang mulai bergerak kepada pemajuan toleransi, baik melalui ragam aktivitasnya hingga penerbitan regulasi daerah yang secara eksplisit mengenai pemajuan toleransi, juga turut menjadi catatan positif yang mengakibatkan naiknya skor pada indikator KBB,” kata Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani dalam keterangan tertulis.
Presiden Diminta Teguhkan Janjinya
SETARA Institute dan INFID mencatat Hak Sipil dan Poltik atau Hak Sipol di Indonesia mengalami penurunan skor 0,1 menjadi 3,1 dalam Indeks Kinerja HAM 2022. Pengukuran diberikan terhadap 6 indikator Hak Sipol dan 5 indikator Hak Ekosob serta 19 indikator untuk Isu HAM Khusus yang terdiri dari 6 indikator isu HAM Papua dan 13 indikator untuk isu kelompok minoritas.
Nilai dari setiap indikator berasal dari rata-rata nilai seluruh sub-indikator dalam satu indikator. Adapun basis pengukuran dan pengumpulan data berasal dari berbagai sumber dan proses, di antaranya berasal dari dokumen yang mencatat kinerja HAM pemerintah, laporan media dan laporan berbagai lembaga yang relevan maupun respons terhadap peristiwa-peristiwa penting terkait HAM yang kemudian diolah menjadi narasi penegakan HAM.
Dalam indeks ini, skala pengukuran ditetapkan dengan rentang nilai 1-7, di mana angka 1 menunjukkan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM yang paling buruk dan angka 7 menunjukkan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM yang paling baik.
Adapun enam subindikator Hak Sipol antara lain hak hidup, kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, hak turut serta dalam pemerintahan, serta kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Dari enam subindikator tersebut, kebebasan berekspresi dan berpendapat menyumbang skor terkecil dengan 1,5. Sementara hak hidup dan hak atas rasa aman pada skor sama 3,3. Kemudian hak memperoleh keadilan pada skor 3,6. Lalu yang tertinggi adalah kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan hak turut serta dalam pemerintahan. Kedua subindikator tersebut berada pada skor 3,7.
Selain indikator Hak Sipol, skor terendah juga terjadi pada indikator Isu HAM Khusus dengan skor 2,5. Isu HAM Papua juga belum mengalami kemajuan dengan subindikator yang bahkan tidak menyentuh skor 2,5.
Adapun peningkatan skor pada Indeks Kinerja HAM 2022 ini disumbang oleh indikator-indikator pada variabel Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau Hak Ekosob, terutama hak atas pendidikan sebagai penyumbang skor terbesar pada variabel tersebut. Meski demikian, angka 4,4 pada indikator hak atas pendidikan ini sebetulnya mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan skor pada Indeks Kinerja HAM 2020, yaitu pada angka 4,6.
Berdasarkan Indeks Kinerja HAM 2022 ini, SETARA Institute dan INFID meminta Presiden Joko Widodo kembali meneguhkan kembali janji politiknya dalam pemajuan HAM di sisa dua tahun kepemimpinannya. Presiden Jokowi bisa melakukan ini dengan memperkuat politik kemajuan HAM melalui pengarusutamaan program-program yang terukur dan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap nilai-nilai HAM.