Dalam proses persidangan, lanjut Abdul Haris, Komnas HAM juga menemukan berbagai kejanggalan. Pasalnya, hanya aparat TNI dan Polri yang dihadirkan langsung untuk didengarkan kesaksiannya. Korban mapun saksi dari masyarakat sipil tidak dihadirkan.
"Dan ini (putusan) pengadilan kemudian menimbulkan ketidakpercayaan dari pihak saksi korban beserta keluarga terhadap proses peradilan ini. Nah, ini juga satu hal yang menurut kami memprihatinkan karena korban sendiri kemudian tidak yakin proses ini akan berjalan secara fair dan memberikan keadilan," tuturnya.
Dia pun mengaku tak heran dengan vonis bebas tersebut. Pasalnya, Isak Sattu disebut hanya sebagai perwira penghubung. Menurut dia, pembuktian kasus ini baru dapat dilakukan jika salah satu komandan yang memberikan arahan atas terjadinya peristiwa tersebut dapat diseret ke pengadilan.
"Kemudian penetapan Mayor Infanteri Isak Sattu selaku perwira penghubung dari komando distrik militer Paniai pada saat peristiwa terjadi sebagai terdakwa tunggal dengan dakwaan yang menggunakan pertanggungjawaban komando dapat mengakibatkan tidak terungkapnya kebenaran dan tercapainya keadilan bagi saksi, korban, masyarakat luas dan ini terbukti," ujar dia.
Kronologi singkat kasus Paniai
Kasus Paniai ini diketahui berawal pada malam 7 Desember 2014 di Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Kejadian ini ditengarai diawali oleh teguran kelompok pemuda kepada anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang membawa mobil Toyota Fortuner Hitam tanpa menyalakan lampu. Teguran itu rupanya menyebabkan pertengkaran yang berujung penganiayaan oleh TNI.
Esok harinya, 8 Desember 2014, rombongan masyarakat Ipakiye berangkat menuju Enarotali, mendatangi Polsek Paniai dan Koramil untuk meminta penjelasan. Masyarakat berkumpul di Lapangan Karel Gobai yang terletak di depan Polsek dan Koramil sambil menyanyi dan menari sebagai bentuk protes terhadap tindakan aparat sehari sebelumnya.
Merasa tak mendapat tanggapan, situasi memanas dan masyarakat mulai melempari pos polisi dan pangkalan militer dengan batu. Aparat menanggapi aksi tersebut dengan penembakan untuk membubarkan massa. Lima orang warga sipil tewas dalam kasus paniai dan peristiwa ini dinyatakan sebagai pelanggaran HAM.
MUH RAIHAN MUZAKKI