TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Pers menyatakan kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi kini menghadapi upaya pembungkaman setelah UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau UU KUHP baru disahkan pemerintah dan DPR. Lantaran, UU KUHP dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika menjalankan tugas jurnalistik.
“Tidak hanya mengancam dan mencederai kemerdekaan pers, namun juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi,” kata Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers, dalam keterangan tertulis, Kamis, 8 Desember 2022.
Baca juga:
Pada Selasa 6 Desember 2022, DPR resmi mengesahkan UU KUHP yang menggantikan KUHP peninggalan kolonial Belanda. UU akan berlaku tiga tahun ke depan, setelah masa sosialisasi.
Dewan Pers kemudian mencatat pasal-pasal UU KUHP yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan dan mengancam kemerdekaan pers, kemerdekaan berpendapat, dan berekspresi. Di antaranya sebagai berikut:
1. Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme
2. Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden
3. Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah
4. Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong
5. Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap
6. Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan
7. Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan
8. Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan
9. Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran
10.Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati
11.Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan
Dewan Pers menyayangkan keputusan soal UU KUHP diambil dengan mengabaikan minimnya partisipasi dan masukan masyarakat, termasuk komunitas pers. Mengingat masih terdapat pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman bagi pers dan wartawan.
Dalam demokrasi, kata Arif, kemerdekaan pers harus dijaga, salah satunya dengan memastikan tidak adanya kriminalisasi terhadap wartawan. Perlindungan itu dibutuhkan agar wartawan dapat bebas menjalankan tugasnya dalam mengawasi, melakukan kritik, dan koreksi.
"Serta memberikan saran-saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan," kata dia.
Dewan Pers sebagai lembaga independen sebelumnya telah menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RKUHP terhadap pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman terhadap pers dan wartawan. Dewan Pers juga menyarankan reformulasi 11 cluster dan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan
pers, sebagai upaya mencegah kriminalisasi.
Masukan Dewan Pers tak direspons Pemerintah
Namun Arif menyebut masukan yang telah diserahkan ke pemerintah dan DPR tidak memperoleh feedback. Padahal, Dewan Pers juga menyampaikan saran agar dilakukan simulasi kasus atas norma yang akan dirumuskan.
Arif juga menyebut ketentuan-ketentuan pidana pers dalam KUHP telah mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Padahal, kata dia, unsur
penting berdemokrasi adalah dengan adanya kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, serta kemerdekaan pers.
"Dalam kehidupan yang demokratis, kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak
asasi manusia hakiki," ujarnya.
Baca juga: Soal Ancaman Penjara Pasal Perzinahan di KUHP Baru, Staf Khusus Presiden Beri Klarifikasi