JAKARTA - Sejumlah anggota DPR mendukung Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan untuk membangun sistem kesehatan terpadu sehingga negara dapat fokus mencegah masyarakat jatuh sakit.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Atgas mengatakan, belajar dari apa yang terjadi selama pandemi Covid-19 pada 2020, Indonesia perlu memiliki arsitektur kesehatan yang lebih kuat dan menyatukan para pemangku kepentingan di bidang kesehatan.
Baca Juga:
"Melalui RUU Kesehatan ini, kita ingin menciptakan arsitektur kesehatan yang mumpuni," kata Supratman di Gedung DPR. Dia lantas membandingkan sistem kesehatan dengan sistem keuangan saat menghadapi pandemi. "Di sektor keuangan itu jelas parameter-parameternya, sehingga pemerintah bisa cepat mengambil keputusan dan sektor ini paling cepat pulih. Sementara di sektor kesehatan tidak, karena semua berjalan sendiri-sendiri."
Berangkat dari pengalaman menghadapi pandemi Covid-19 tersebut, Supratman melanjutkan, perlu regulasi untuk menyatukan para stakeholder kesehatan. Sejumlah anggota Baleg DPR sepakat dengan cita-cita RUU Kesehatan dalam memperkuat sistem kesehatan di Tanah Air.
Anggota Fraksi Gerindra, Sodik Mudjahid mengatakan enam transformasi sistem kesehatan yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan sudah komprehensif.
Dengan RUU ini, Sodik mengatakan, sistem kesehatan akan lebih terintegrasi, mulai dari tenaga kesehatan, farmasi, penyediaan peralatan kesehatannya, pendidikan kedokteran, dan sebagainya. "Kita mau menata itu semua dan jangan dilihar secara parsial atau per sektor, melainkan satu kesatuan yang terintegrasi," kata dia.
Satu hal yang juga penting dalam RUU Kesehatan, menurut Sodik, adalah porsi anggaran untuk upaya promotif preventif harus lebih tinggi ketimbang rehabilitasi dan kuratif.
Anggota Fraksi Demokrat, Achmad mengatakan, RUU Kesehatan harus menjawab kesulitan para dokter WNI lulusan luar negeri untuk berpraktik di negeri sendiri.
"Selama ini seperti tidak ada standadisasi tentang bagaimana proses yang harus dilalui," katanya. Di antara dokter WNI lulusan luar negeri itu, menurut dia, ada yang menganggur sampai lebih dari enam bulan karena menjalani proses adaptasi, menunggu surat izin, dan tak tahu bagaimana standar pembiayaan pengurusan izin tersebut.
Terlalu lama menunggu, Achmad berujuar, ada dokter WNI yang akhirnya memilih mengurus izin praktik ke Malaysia atau Singapura karena lebih mudah. "Di sana prosesnya sederhana, tidak perlu banyak tes dan bisa diterima," katanya. "Bagaimana ini? Di negara sendiri kok sulit praktik? Jangan sampai hal ini menimbulkan image kalau sekolah kedokteran di luar negeri, maka sulit kembali atau bekerja di Indonesia."
Senada dengan Achmad, anggota Fraksi PDI Perjuangan, Mayjen TNI. Mar, (Purn) Sturman Panjaitan mengatakan, saking sulitnya praktik di Indonesia, ada dokter WNI yang praktik di Singapura dan mendapatkan fasilitas untuk memperdalam ilmunya ke bidang spesialisasi tertentu atau sub-spesialis dengan dibiayai oleh rumah sakit tempatnya bekerja.
Contoh, kata dia, di Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura, sekitar 70 persen dokter, tenaga kesehatan, dan pasiennya adalah orang Indonesia. "Sayangnya, rumah sakit itu berada di Singapura," ucap Sturman.
Kondisi tersebut, menurut dia, harus diubah, salah satunya melalui RUU Kesehatan. "Mari kita sama-sama berpikir jernih tentang masalah sistem kesehatan. Mari duduk bersama tanpa ada ego sektoral," ucap Sturman. "Di sini ada banyak organisasi, tetapi sulit berkolaborasi. Jangan berpikir apa yang kita inginkan, tetapi apa yang Indonesia inginkan. Sebab persoalan kesehatan adalah fundamental dan langsung dirasakan oleh masyarakat."
Sturman juga mengingatkan agar paradigma pelayanan kesehatan jangan bergeser menjadi industri kesehatan. Sebab dua hal itu memiliki makna yang berbeda. "Health care berangkat dari kepedulian terhadap masyarakat," katanya. Sedangkan health industri berorientasi pada bagaimana cara mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Anas Thahir menyarankan agar RUU Kesehatan memuat klausul atau pasal-pasal yang memaksa masyarakat untuk mengubah gaya hidupnya guna mencegah penyakit berat, seperti jantung, stroke, diabetes, kanker, dan ginjal. "Ini penting. Sebab kesalahan gaya hidup ini membuat pemerintah mengeluarkan banyak biaya untuk mereka," ujarnya. (*)