Menteri Yusril diminta komentarnya tentang masalah ini karena, dalam halal bi halal dengan pimpinan Perguruan Tinggi Islam Swasta di Istana Negara, Sabtu pekan lalu (27/1) pukul 16.00, Presiden Wahid sempat melontarkan ide tentang pembekuan parlemen dengan sebuah dekrit bila DPR terus menerus berupaya menjatuhkan dirinya. Harian Rakyat Merdeka membocorkan rencana Gus Dur itu dalam sebuah berita kecil di sudut kanan bawah pada halaman pertama edisi Senin (29/1). Lepas dari siapa yang mengucapkan itu, saya lihat tidak cukup alasan, kata Yusril menanggapinya.
Menurut Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu, dalam sejarah ketatanegaraan, dekrit hanya pernah terjadi satu kali, yaitu pada 5 Juli 1959. Itu pun, lanjut Yusril, dilakukan Sukarno yang sangat karismatik dan di-back-up militer dibawah Jenderal Nasution.
Waktu itu para anggota Dewan dalam keadaan reses dan sedang pulang ke daerah masing-masing. Ketika mereka mau balik ke Bandung dihalang-halangi oleh rezim yang berkuasa saat itu, ujarnya. Kemudian, Nasution mengumumkan keadaan darurat, pers diberangus dan masyarakat tidak diperbolehkan mengadakan pertemuan-pertemuan politik. Pada situasi seperti itulah Bung Karno mengeluarkan dekrit 5 juli 1959, ujar Menteri Yusril.
Alasannya saat itu adalah negara dalam keadaan darurat atau hukumnya dalam keadaan darurat. Namun, menurut ahli hukum tata negara itu, Dekrit 5 Juli 1959 merupakan revolusi hukum. Soalnya, kondisi yang semula merupakan tindakan inkonstitusional tapi karena mereka mampu mempertahankannya, maka tindakan itu akhirnya menjadi konstitusional.
Karena itu, menurut Menteri Kehakiman dan HAM, bila seandainya saat ini ada yang mau membubarkan parlemen tapi tidak mampu mempertahankan, maka dia bisa dituduh melakukan tindakan kudeta. Jadi silahkan hitung-hitung kalau ada orang yang akan melakukan dekrit membubarkan parlemen, apakah langkah-langkahnya bisa dipertahankan atau tidak, ujar Yusril. (Fajar W Hermawan)