TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan Aliansi jurnalis Independen (AJI) kembali menggelar Indonesia Fact Checking Summit (IFCS) pada 30 November 2022. IFCS kali ini fokus membahas penyebaran hoaks yang sering terjadi menjelang Pemilu. Tema ini dipilih karena Indonesia akan menggelar Pemilu pada 2024.
Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho mengungkapkan, sejak Januari hingga oktober 2022, terdapat setidaknya 1424 hoaks yang menyebar di masyarakat. Sebanyak 29,2 persen dari data tersebut merupakan hoaks politik.
Fenomena ini, kata Septiaji, sama dengan kondisi pada Pemilu 2014 dan 2019. Saat itu, hoaks merajalela menyasar penyelenggara pemilu, parpol, kandidat, dan pemilih. Mafindo mencatat pada 2019, hoaks politik mencapai 52,7 persen ini menggambarkan brutalitas produksi hoaks.
"Jelang Pemilu 2024, saat ini juga sudah terlihat peningkatan hoaksnya di bidang politik, maka perlu diantisipasi secara serius karena polarisasi politik ini berpotensi menyebabkan konflik hingga kekerasan,” ujar Septiaji, Rabu, 30 November 2022.
Septiaji menambahkan, pekerjaan mengantisipasi hoaks ini membutuhkan kolaborasi yang kuat. oleh karena itu, Mafindo bersama AMSI, dan AJI berkomitmen untuk berkolaborasi melawan mis/disinformasi pada Pemilu 2024. Kolaborasi juga turut menggandeng Perludem, KPU, Bawaslu, dan pihak kepolisian. Kolaborasi itu diwujudkan melalui penandatanganan komitmen bersama dalam acara Indonesia Fact-Checking Summit (IFCS) 2022 yang digelar di Hotel AOne Jakarta ini.
Penandatanganan komitmen bersama Mafindo, AMSI, AJI, Perludem, KPU, Bawaslu, Kemenkominfo, dan kepolisian dalam mengantisipasi penyebaran dis/misinformasi, Rabu, 30 November 2022 di Hotel AOne, Jakarta Pusat.
Koordinator Cekfakta.com, Adi Marsiela mengatakan, kolaborasi ini dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan publik mendapatkan informasi yang kredibel. Pasalnya, informasi yang kredibel dan sehat adalah syarat fundamental bagi demokrasi. Kebutuhannya pun jauh lebih besar di tengah tsunami informasi yang deras di internet.
"Maka peran jurnalis cukup penting agar dapat mempublikasikan informasi yang akurat, membantah hoaks, dan menyajikan konten yang relevan dengan kebutuhan masyarakat," ujarnya.
Sekretaris Jenderal AMSI Wahyu Dhyatmika menambahkan, untuk melawan mis/disinformasi kini tak lagi cukup melalui pengecekan fakta atau debunking, tapi juga perlu pencegahan atau prebunking. Caranya, dengan memberi pemahaman kepada masyarakat tentang proses membongkar kebohongan, taktik, atau sumber sebelum informasi keliru menyerang.
"Tujuannya agar masyarakat memiliki kekebalan menghadapi hoaks. Mereka paham ketika mendapatkan informasi dari media sosial maupun sumber lain apakah itu fakta, fitnah, atau hoaks," kata Wahyu.