JAKARTA – Berbagai temuan tentang bahaya senyawa Bisphenol A (BPA) pada galon polikarbonat menjadi alarm untuk melindungi konsumen. Pakar Hukum Perlindungan Konsumen yang juga Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Henny Marlina, S.H., M.H., M.L.L mengatakan, sudah saatnya pemerintah mengambil langkah untuk mengatur penggunaan galon polikarbonat.
Tindakan paling cepat, menurut dia, melalui regulasi pelabelan galon guna ulang, agar konsumen sadar dengan risiko saat memilih galon air minum untuk konsumsi rutin mereka. "Seharusnya pelaku usaha tidak perlu takut dengan kebijakan pelabelan karena bertujuan melindungi konsumen dan mencerminkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab," kata Henny dalam acara "Expert Forum: Urgensi Pelabelan BPA pada Produk Air Minum dalam Kemasan untuk Keamanan Konsumen" di Jakarta, Rabu, 23 November 2022.
Henny menjelaskan tiga hakikat label kemasan. Pertama, meningkatkan harkat dan martabat konsumen dengan menumbuhkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian dalam melindungi diri. Kedua, menumbuhkembangkan sikap jujur dan bertanggung jawab dari pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Ketiga, dapat meningkatkan kualitas barang/jasa untuk menjamin kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) dari Kementerian Perdagangan pada 2021 menunjukkan masyarakat Indonesia mencapai level “MAMPU” yang artinya konsumen cenderung sudah mengenali hak dan kewajibannya serta dapat menentukan pilihan konsumsinya, namun belum aktif memperjuangkan haknya sebagai konsumen. IKK adalah indeks yang mengukur kesadaran dan pemahaman konsumen akan hak dan kewajiban serta kemampuan untuk berinteraksi pada pasar.
"Negara wajib meningkatkan literasi konsumen dan menjamin pemenuhan hak dan kewajiban konsumen," kata Henny Marlina. Sebab itu, menurut dia, perlu regulasi khusus sebagai standar untuk melindungi konsumen sekaligus meningkatkan kualitas produk yang beredar.
Terlepas dari berbagai keunggulan kemasan plastik, pada kasus BPA, Henny Marlina menyanyangkan masih banyak wadah makanan dan minuman, seperti peralatan masak, tempat makan, wadah yang dapat dimasukkan ke dalam oven/microwave, dot bayi, hingga galon isi ulang yang menggunakan bahan plastik polikarbonat. "Tidak banyak konsumen yang mengetahui bahaya BPA pada kemasan bagi kesehatan dan tidak banyak pula konsumen yang mengetahui upaya apa yang bisa dilakukan dalam mengurangi dan menghindari dampak negatif BPA tadi," ujarnya.
Mengenai rencana pelabelan kemasan yang berpotensi mengandung BPA, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Dra. Rita Endang, Apt. M.Kes. mengatakan, per November 2021, BPOM telah mengeluarkan Rancangan Peraturan BPOM tentang Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Dalam rancangan peraturan tersebut, terdapat klausul tentang labelisasi kemasan, yakni produsen air minum galon berbasis polikarbonat wajib memasang label “Berpotensi Mengandung BPA” terhitung tiga tahun sejak peraturan disahkan.
“Pelabelan ini untuk keamanan konsumen," kata Rita Endang dalam kesempatan yang sama. Pelabelan BPK pada produk kemasan AMDK, menurut dia, sudah menjadi isu global dan berbagai negara telah menerapkan regulasi pelabelan tersebut.
Contoh, Rita menyebut larangan penggunaan bahan kimia BPA pada kemasan pangan di sejumlah negara, seperti Prancis, Brazil, Kolombia, serta negara bagian Vermont dan California di Amerika Serikat. “Di California sudah berlaku pencantuman label peringatan yang bertuliskan ‘BPA dapat menyebabkan kanker, gangguan kehamilan dan reproduksi’,” kata Rita.
Potensi bahaya kesehatan yang bisa ditimbulkan dari BPA, antara lain gangguan seksual, kanker prostat, dan jenis kanker lainnya. “Kami tidak mau menunggu ada kasus terlanjur banyak atau sudah sangat kritis baru bertindak. Kalau ada persoalan harus segera ditangani karena BPOM hadir untuk melindungi keselamatan masyarakat,” ucap Rita.
Rita Endang menjelaskan, kebijakan penyematan label 'Berpotensi Mengandung BPA' berangkat dari uji sampel post-market pada 2021-2022 di sejumlah wilayah Indonesia. "Uji sampel menunjukkan hasil yang cenderung mengkhawatirkan," katanya. Kekhawatiran yang dia maksud adalah terjadi migrasi BPA pada kemasan air minum berbahan polikarbonat yang berbahaya bagi kesehatan.
Pengawasan BPOM pada periode tadi menunjukkan hasil uji migrasi BPA sebesar 0,05-0,6 bagian per juta (bpj) pada sarana peredaran sebanyak 46,97 persen dan 30,91 persen pada sarana produksi. Hasil pengawasan kandungan BPA pada produk AMDK dengan kandungan BPA di atas 0,01 bpj pada sarana produksi sebesar 5 persen dari sampel galon baru dan pada sarana peredaran sebesar 8,67 persen.
Sementara Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan mensyaratkan batas migrasi BPA pada kemasan plastik polikarbonat sebesar 0,6 bpj. Ada pula ketentuan mengenai batas nilai kandungan BPA yang terdeteksi atau Limit of Detection (LoD) ≤ 0,01 bpj. Yang jelas, Rita Endang melanjutkan, BPOM selalu berupaya melindungi masyarakat, tidak hanya untuk saat ini, namun juga di masa yang lebih panjang.
Pakar polimer dan material dari Departemen Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Prof. Mochamad Chalid memaparkan risiko cemaran BPA dalam kemasan pangan yang berbahaya karena digunakan tidak sesuai aturan. “Pelepasan BPA dapat terjadi melalui peluruhan polikarbonat dengan adanya air pada suhu dan waktu tertentu,” katanya.
Suhu dan waktu, menurut dia, menjadi kunci terhadap pelepasan senyawa BPA dari galon polikarbonat ke air minum. “Potensinya terjadi saat transportasi galon dari sistem produksi ke konsumen dan karena galon digunakan berulang-ulang,” ucap Chalid. “Karena itu, pelabelan tentang BPA menjadi penting untuk menjamin kesehatan konsumen.”
Dari perspektif ekonomi, Ahli Ekonomi Dr. Ir. Tengku Ezni Balqiah mengatakan, konsumen berhak mendapatkan informasi mengenai suatu produk. Informasi ini terdapat pada produk atribut yang terbagi menjadi tiga, yakni search, experience, dan credence. Search artinya segala sesuatu yang bisa dipelajari sebelum membeli. Experience merupakan evaluasi setelah membeli. Dan credence merupakan hal-hal yang tidak dapat dievaluasi, contohnya label kemasan.
"Dengan adanya label, konsumen bisa percaya kandungan yang terdapat pada produk tersebut itu baik atau tidak," ujarnya. Kendati konsumen memiliki kapasitas kognisi yang tinggi, tetapi mereka memiliki keterbatasan apabila tidak terdapat informasi pada produknya, dalam hal ini contohnya kandungan yang terdapat dalam air minum dalam kemasan.
Tengku Ezni Balqiah merekomendasikan tiga poin penting dalam penggunaan label. Pertama, label harus berkaitan dengan sustainability yang berhubungan dengan lingkungan dan kesehatan; kedua, harus dicantumkan cakupan geografi; dan ketiga, harus mencantumkan komponen tambahan pada plastik.
Ketua Harian Net Zero Waste Mangement Consortium Amalia S Bendang mengatakan, pentingnya edukasi tentang bahaya BPA pada air minum yang terkontaminasi dari luluhan galon plastik polikarbonat. “Supaya masyarakat sadar terhadap potensi bahaya dari air galon yang mereka minum,” ujarnya. Ditambah lagi berbagai publikasi ilmiah mutakhir yang menunjukkan berbagai dampak fatal akibat toksisitas BPA pada kelompok dewasa dan usia produktif.
Menurut Amalia, BPA merupakan bahan kimia yang kerap ditambahkan ke banyak produk komersial, termasuk wadah makanan dan minuman. Plastik yang mengandung campuran BPA biasanya dipakai sebagai wadah makanan, botol minuman, botol susu bayi, dan kemasan lainnya.
BPA juga lazim digunakan untuk membuat resin epoxy yang dimanfaatkan sebagai lapisan dalam wadah makanan kaleng untuk menjaga agar logam tidak cepat berkarat. “Sebagai bahan kimia, BPA adalah material bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat, konsentrasi atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemari lingkungan hidup dan kesehatan manusia,” kata Amalia. (*)
#PilahYangBaik
#UntukLingkunganIndonesia