Dari 23 pasal yang dibahas dalam rapat penyempurnaan draf RKUHP, sejumlah pasal masih disoroti Komisi Hukum. Di antaranya pasal mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat alias living law, hukuman mati, penghinaan terhadap pemerintah dan kekuasaan umum, narkotika, rekayasa kasus, dan kohabitasi.
Rapat sempat di skors selama kurang lebih 3 jam. Waktu ini dimanfaatkan oleh pemerintah untuk berunding ihwal pasal-pasal yang masih mengantongi catatan dari Komisi Hukum. Usai berdiskusi, pemerintah menyampaikan perubahan dalam sejumlah pasal yang disoroti, yakni sebagai berikut:
1. Hukum yang hidup yang di masyarakat alias living law
Dalam draf awal RKUHP versi 24 November, living law diatur dalam pasal 2 yang berisi 2 ayat. Adapun bagian penjelasan menyebutkan bahwa untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat, Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana adat.
Komisi Hukum DPR kemudian mengusulkan agar pedoman pembentukan living law didasarkan pada Peraturan Pemerintah. “Kalau diserahkan ke daerah untuk membuat Perda masing-masing, maka tiap daerah akan berlomba-lomba memajukan hukum adatnya yang bisa jadi tidak berlaku saat ini,” kata anggota DPR Komisi Hukum Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari.
Draf akhir RKUHP versi 24 November kemudian menambahkan ayat dalam pasal 2 yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara penentuan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pidana mati
Sejak rapat pembahasan RKUHP pada 9 November 2022 lalu, pasal pidana mati menjadi sorotan Komisi Hukum. Adapun dalam draf awal RKUHP versi 24 November, pidana mati diatur dalam pasal 100 yang menyebutkan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan dan peran terdakwa dalam tindak pidana.
Anggota DPR Komisi Hukum satu suara untuk menghapuskan frasa “dapat” di pasal ini. Menurut mereka, penggunaan kata “dapat” mengartikan bahwa hakim bisa memilih untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan, atau langsung menjatuhkan pidana mati.
“Kalau pake kata ‘dapat’ maka bukan jadi pidana alternatif, tetapi dapat menjadi pidana alternatif,” kata anggota DPR Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman.
Draf akhir RKUHP versi 24 November kemudian menghapus frasa ‘dapat’, sehingga berbunyi: Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan dan peran terdakwa dalam tindak pidana.
Selanjutnya tindak pidana terhadap ideologi negara...