Hasil identifikasi yang dimaksud, kata pihak ICW, setidaknya ada enam poin kekeliruan DPR saat merombak komposisi majelis hakim konstitusi. Pertama, DPR keliru saat menafsirkan surat dari Ketua MK. Surat yang dikirimkan oleh MK kepada Ketua DPR RI subtansinya hanya sekedar pemberitahuan/konfirmasi dampak Putusan Nomor 96/PUU-XIII/2020.
Adapun putusan itu mengubah periodisasi jabatan hakim MK, yakni, tidak lagi merujuk pada siklus lima tahunan, melainkan merujuk pada pembatasan usia. Namun DPR justru menafsirkan lain dan memanfaatkan surat itu sebagai dasar memberhentikan hakim konstitutsi.
Kedua, ICW menilai DPR menabrak ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menjamin eksistensi kemerdekaan lembaga kekuasaan kehakiman.
Ketiga, kesimpulan untuk memberhentikan Aswanto menunjukkan DPR ahistoris dengan produk UU yang mereka hasilkan sendiri. Sebab, mekanisme ganjil itu jelas bertolak belakang dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK (UU MK).
Keempat, keputusan DPR ini dinilai kental dengan nuansa politik terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Merujuk pada pernyataan Ketua Komisi III DPR RI sekaligus politikus asal PDIP, Bambang Wuryanto, alasan pemberhentian Aswanto karena hakim konstitusi itu menganulir UU yang dikerjakan oleh DPR.
Kelima, dasar pemikiran Bambang saat memberhentikan Aswanto tersebut dinilai ICW memiliki muatan konflik kepentingan dan seperti ingin menundukkan mahkamah. Serta, kata ICW, berarti Ketua Komisi III memiliki kepentingan dalam proses pemilihan hakim konstitusi.
Keenam, praktik pembangkangan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilakukan DPR dapat berpengaruh buruk terhadap masa depan MK. ICW menilai langkah DPR ini kemungkinan ditiru oleh cabang kekuasaan lainnya yang menjadi pengusul hakim konstitusi, seperti Presiden atau Mahkamah Agung.
Selain hasil enam poin di atas, ICW juga beranggapan bahwa pemberhentian hakim MK di tengah masa jabatan oleh DPR bisa dikaitkan dengan kontestasi politik tahun 2024. “Bukan tidak mungkin ini merupakan siasat partai-partai tertentu guna mengamankan konsolidasi politik, terutama dalam kaitan dengan produk legislasi atau bahkan kewenangan MK lain seperti memutus perselisihan hasil pemilihan umum”, kata ICW.
M JULNIS FIRMANSYAH
Baca: Guntur Hamzah Tetap Dilantik Walau Dikritik, Mensesneg: Jokowi Tak Bisa Ubah Keputusan DPR