TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum Presiden Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar dan Direktur Keuangan Yayasan ACT Heriyana Hermain, Widad Thalib, meminta majelis hakim agar menolak surat dakwaan dan melepaskan kliennya karena jaksa dinilai tidak cermat menyusun dakwaan. Hal tersebut disampaikan dalam nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa 22 November 2022.
“Penuntut umum tidak cermat dalam menguraikan pekerjaan terdakwa di dalam surat dakwaan,” kata Widad saat pembacaan eksepsi yang dibacakan terpisah Selasa 22 November 2022.
Widad mengatakan surat dakwaan menyebut pekerjaan Ibnu Khajar dan Heriyana sebagai karyawan swasta di bagian identitas terdakwa. Akan tetapi dalam bagian lain dakwaan menyebut Heriyana sebagai Senior Vice President Operational Global Islamic Philanthropy.
Hal serupa terjadi pada Ibnu Khajar. Dalam bagian identitas terdakwa dakwaan menyebut Ibnu Khajar sebagai pengurus Yayasan ACT. Namun di bagian lain disebut pekerjaan terdakwa sebagai senior vice president operational GIP sekaligus Direktur Keuangan Yayasan Aksi Cepat Tanggap.
“Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP mewajibkan Penuntut Umum untuk menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan,” kata Widad.
Selain itu, kuasa hukum juga menilai surat dakwaan tidak menguraikan peran terdakwa secara jelas dalam dakwaan primer dan subsider. Disebutkan dalam dakwaan Ibnu Khajar dan Heriyana bersama-sama Ahyudin, mantan Presiden ACT, melakukan atau menyuruh melakukan perbuatan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seharusnya atau sebagian milik orang lain.
“Dari uraian tersebut, penuntut umum mendudukkan Ibnu Khajar, Heriyana dan Ahyudin, dalam satu kedudukan yang sama sebagai yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger), dan atau sebagai turut serta melakukan (medepleger),” kata kuasa hukum.
Kemudian, kuasa hukum juga menyoroti surat dakwaan yang tidak menguraikan dengan jelas siapa yang menjadi korban dalam perkara ini. Wadid mengatakan jaksa tidak menjelaskan siapa korban dalam Pasal 374 dan Pasal 372 KUHP.
“Laporan pidana terhadap Yayasan ACT adalah berdasarkan laporan kepolisian lantaran laporan Majalah Tempo edisi 2 Juli 2022 yang mendiskreditkan Yayasan ACT, di mana pihak-pihak yang memberikan informasi kepada Tempo tidak diketahui sumbernya dengan jelas,” kata Wadid.
Selain itu, kuasa hukum juga mengatakan pengadilan tidak berwenang mengadili pemindahan dana dari rekening Yayasan ACT ke rekening lain milik ACT sendiri, serta penggunaan dana yang dapat saling ditukar satu sama lain dalam rekening milik ACT.
“Pemindahan dana dari rekening milik Yayasan ACT kepada beberapa rekening lain milik ACT bukanlah merupakan tindak pidana,” tutur Wadid.
JPU dinilai tak cermat hitung dana sosial Boeing
Dalam eksepsinya, kuasa hukum juga menyinggung JPU tidak cermat menghitung implementasi dana bantuan sosial Boeing atau Boeing Community Investment Fund (BCIF). Dalam surat dakwaan, penuntut umum menyebut ACT menerima Rp 138.546.338.500 dari Boeing. Setelah menerima dana tersebut, Yayasan ACT melakukan pemindahbukuan ke beberapa rekening.
“Namun apabila angka yang dirincikan oleh penuntut umum dijumlahkan, maka totalnya bukan Rp 138.546.338.500, melainkan Rp 141.909.946.439,” ujar kuasa hukum.
Lebih lanjut, kuasa hukum menganggap jaksa prematur mendakwa kliennya karena program BCIF masih berjalan dan tidak ada masalah. Protokol BCIF menyebyt apabila dalam pelaksanaan pembangunan fasilitas sosial terdapat kesalahan, maka dapat diperbaiki, ataupun dana yang sudah diterima Yayasan ACT dapat dikembalikan.
Selanjutnya: Ahyudin cs hanya gunakan Rp 20 miliar...