Temuan keempat, dugaan penyiksaan dan kekerasan seksual sebagai bentuk penghukuman bagi penghuni yang melarikan diri. Bahkan ada penghuni yang kabur karena tidak tahan dengan berbagai kekerasan dan perbudakan yang terjadi, jika korban kabur dan tertangkap kembali maka akan disiksa semakin kejam.
Penyiksaan itu dilakukan dengan cara diikat pada bagian tangan dan kakinya, lalu dicambuk selang hingga ratusan kali. Selain itu ditetesi lelehan plastik, tidur di atas daun jelatang babi (daun yang menimbulkan efek gatal selama seminggu).
“Dipukul dengan menggunakan palu atau batu pada bagian kuku jempol kaki, disundut api rokok pada kemaluan, hingga dipaksa melakukan hubungan sesama jenis,” ucap Andrie.
Kelima, Andrie menegaskan, kerangkeng bukan tempat rehabilitasi, tapi penjara. Sejak berdirinya kerangkeng milik TRP ini tidak pernah memiliki ijin dari BNN maupun Dinas Sosial Setempat.
“Pembinaan terhadap pecandu narkoba tidak memiliki program yang jelas sebagaimana rehabilitasi pada umumnya. Tetapi justru sebagai tempat perbudakan dan pengekangan kebebasan,” tutur dia.
Keenam, para penghuni kerangkeng tidak semuanya merupakan penyalahguna narkotika. Terdapat korban yang masuk ke dalam kerangkeng arena kejahatan penggelapan sepeda motor, dan ketidaksukaan secara personal TRP kepada orang tertentu.
Ketujuh, penghuni kerangkeng dieksploitasi untuk bekerja di perusahaan sawit dan renovasi rumah milik TRP. Mereka bekerja di perkebunan sawit dan di pabrik milik TRP yakni PT. Dewa Rencana Peranginangin (DRP).
Selanjutnya kedelapan ada korban anak di dalam kerangkeng manusia yang diperlakukan dengan kekejaman dan perbudakan yang sama. Serta adanya unsur aparat keamanan yang terlibat baik mengetahui secara langsung maupun berperan dalam proses penangkapan dan penganiayaan.
“Setidaknya ada lima anggota TNI telah diproses secara hukum di PM I-02 Medan,” kata Andrie.
Baca juga: Sidang Kasus Kerangkeng Manusia Digelar Hari Ini di PN Stabat