TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi Kanjuruhan telah berlalu selama lebih dari empat puluh hari. Namun, tragedi yang menewaskan lebih dari 130 orang ini masih meninggalkan misteri.
Pada 1 Oktober 2022 lalu, polisi menembakkan gas air mata dalam pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan malam hari. Namun, akibat gas air mata ini, para penonton menjadi panik dan saling injak hingga kehabisan nafas dan berujung kematian.
Guna mengenang peristiwa itu, Arema FC selaku tuan rumah di Stadion Kanjuruhan menggelar doa bersama dan tahlil peringatan 40 hari Tragedi Kanjuruhan. Hal ini pun disampaikan langsung oleh Komisaris PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia (PT AABBI), Tatang Dwi Arifianto.
"Doa dan tahlil untuk mendoakan para korban yang meninggal dunia dalam peristiwa tragedi Kanjuruhan, akan dilakukan setelah Ashar (10 November 2022)," kata Tatang pada Rabu, 9 November 2022.
Baca: 7 Temuan Komnas HAM dalam Tragedi Kanjuruhan
Bambang Widjojanto Sebut 3 Hal Mutakhir Usai Tragedi Kanjuruhan
Menanggapi soal Tragedi Kanjuruhan, eks Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyebut terdapat tiga hal mutakhir atau terkini yang cukup membingungkan soal Tragedi Kanjuruhan.
Ketiga hal itu pun ia diskusikan secara langsung dengan eks penyidik KPK, Novel Baswedan, pada kanal YouTube Bambang Widjojanto.
“Yang pertama, ternyata LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) itu melindungi sekitar 18 saksi dari upaya intimidasi,” ujar Bambang.
Baca: Adnan Buyung Nasution dalam Kenangan Bambang Widjojanto: Seandainya Hari ini ABN Masih Ada
Menurut Novel, informasi itu menunjukkan bahwa terdapat ancaman sekaligus sesuatu yang membahayakan dan mengkhawatirkan bagi para saksi dan korban Tragedi Kanjuruhan. Sebab itu, Novel mempertanyakan bagaimana bisa sampai terjadi ancaman hingga membutuhkan bantuan dari LPSK.
“Yang paling menarik, ternyata tragedinya sudah terjadi, tetapi kekerasannya tetap berlangsung,” kata Bambang, menambahkan.
Kemudian, Bambang Widjojanto juga menyebut bahwa ada pula korban yang bukan berasal dari tindak kekerasan selama Tragedi Kanjuruhan, tetapi korban akibat pengalaman traumatis saat kerusuhan di Stadion Kanjuruhan.
“Ada 119 korban yang memerlukan layanan psikologis dan paling tidak ada 51 di antaranya adalah anak-anak,” ujar Bambang.
Alhasil, menurut Bambang, dimensi kekerasan pada Tragedi Kanjuruhan tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikis.
Terakhir, Bambang Widjojanto menyoroti bahwa masyarakat belum mendapatkan catatan ataupun rekapitulasi penyebab kematian para korban hingga hari ini.
“Dari situ (rekapitulasi penyebab kematian), kita bisa lacak lebih lanjut. Siapa orang yang patut bertanggung jawab?” kata Bambang.
Menanggapi sorotan Bambang tersebut, Novel menyatakan bahwa apabila pencarian data seperti itu dilakukan oleh lembaga nonpemerintah atau NGO pasti akan sulit. Sebab, jenis-jenis data tersebut merupakan data pribadi bersifat rahasia.
“Seharusnya, itu (pencatatan dan pelacakan penyebab kematian) dilakukan oleh bagian dari aparatur atau siapa pun yang memegang mandat atau kewajiban dari negara untuk melakukan penelusuran,” kata Novel Baswedan.
Menurut Novel Baswedan, melalui langkah seperti itu, setidaknya peristiwa Tragedi Kanjuruhan akan semakin jelas dan dapat diminimalisasi agar tak terulang kembali pada masa mendatang.
ACHMAD HANIF IMADUDDIN
Baca juga: Alasan Novel Baswedan Bela Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo: KPK Jangan untuk Kepentingan Politik
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.