TEMPO.CO, Jakarta - Sidang perdana kasus penyelewengan dana bantuan Aksi Cepat Tanggap atau ACT digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada hari ini, Selasa, 15 November 2022. Duduk di kursi terdakwa, mantan Presiden ACT Ahyudin yang dihadirkan secara virtual dari Bareskrim Polri.
Jaksa Penuntut Umum membacakan dakwaan dari ruang sidang Dr. Mr. Kusumah Atmadja yang dihadiri majelis hakim dan pengacara Ahyudin. Sidang ini dipimpin Hakim Ketua Hariyadi didampingi dengan dua hakim ketua yakni Mardison dan Hendra Yuristiawan.
Jaksa tidak menyertakan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik dalam dakwaan yang dibacakan.
JPU hanya mendakwa Ahyudin dengan Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Adapun ancaman hukuman dakwaan primer Pasal 374 maksimal lima tahun penjara.
Baca juga: Sidang ACT Digelar Virtual, Ahyudin Dengarkan Dakwaan dari Ruang di Bareskrim
Kuasa hukum Ahyudin, Irfan Junaidi, mengatakan dakwaan hanya tindak pidana penggelapan dana, bukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
“Kalau bicara dakwaan saat ini hanya tindak pidana awalnya saja, yaitu Pasal 374 dan/atau Pasal 372,” kata Irfan setelah pembacaan dakwaan di PN Jakarta Selatan, 15 November 2022.
Ia mengatakan dengan pasal itu kliennya terancam maksimal lima tahun penjara. Ia menjelaskan sangkaan pasal awal pada Agustus lalu oleh Bareskrim Polri memang tercantum dugaan TPPU.
“Kalau untuk bicara detailnya itu kewenangan penyidik. Saat ini memang yang sedang diproses Pasal 374 subsider Pasal 372 juncto Pasal 55,” ujar Irfan.
Saat dikonfirmasi perihal ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, I Ketut Sumedana, mengatakan dakwaan tersebut sudah sesuai dengan berkas yang diterima dari penyidik Bareskrim Polri.
“Dasar surat dakwaan itu dari berkas perkara dari penyidik yang hanya mencantumkan Pasal 372 juncto Pasal 374 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 dan Pasal 56 KUHP,” kata Ketut Sumedana saat dikonfirmasi.
Sebelumnya, penyidik Direktorat Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menjerat Ahyudin dengan Pasal 372 KUHP, Pasal 374 KUHP, Pasal 45 A ayat 1 juncto pasal 28 ayat 1 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Selanjutnya, Pasal 70 ayat 1 dan 2 juncto Pasal 5 UU Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah UU Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Berikutnya, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta yang terakhir Pasal 55 KUHP juncto Pasal 56 KUHP.
Kasus ini berawal dari pemberian bantuan dari pihak Boeing terhadap korban jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 tanggal 18 Oktober 2018. Dana dari Boeing itu diberikan dalam bentuk pembangunan atau proyek sarana pendidikan atau kesehatan.
Pihak Boeing meminta ahli waris menunjuk lembaga atau yayasan bertaraf internasional untuk menyalurkan dana BCIF tersebut, masing-masing ahli waris mendapat dana sebesar USD 144.550 atau senilai Rp 2,066 miliar dari Boeing. Atas rekomendasi 69 ahli waris melalui seleksi pada tanggal 28 Januari 2021, ACT menerima pengiriman dana dari Boeing sebesar Rp 138, 54 miliar.
Akan tetapi dari dana BCIF yang semestinya dipakai mengerjakan proyek hasil rekomendasi ahli waris korban kecelakaan Pesawat Boeing yang digunakan maskapai penerbangan Lion Air, tidak digunakan seluruhnya namun hanya sebagian. Dana tersebut dipakai untuk kepentingan yang bukan peruntukannya.
Pada pelaksanaannya, penyaluran dana Boeing (BCIF) tersebut tak melibatkan para ahli waris dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan proyek pembangunannya. Pihak ACT juga tidak memberitahukan kepada ahli waris soal dana bantuan dari pihak Boeing.
Diduga pengurus Yayasan ACT menggunakan dana tidak sesuai peruntukannya, yaitu untuk kepentingan berupa pembayaran gaji dan fasilitas pribadi, operasional perusahaan serta kegiatan lain di luar program Boeing.
Tersangka Ahyudin, Ibnu Khajar, dan Heriyana diduga telah menggunakan dana BCIF sebesar Rp 117,98 miliar untuk kegiatan di luar implementasi Boeing. Hal ini juga dilakukan tanpa seizin dan sepengetahuan dari ahli waris korban kecelakaan Maskapai Lion Air Pesawat Boeing 737 Max 8 maupun dari perusahaan Boeing sendiri.
Baca juga: ACT Sebut Ditunjuk Boeing untuk Kelola Dana Santunan Kecelakaan Lion Air JT610
EKA YUDHA SAPUTRA | FAIZ ZAKI