TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Hukum DPR, Bambang Wuryanto, menyebut usulan penambahan pasal soal rekayasa kasus dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi tidak diakomodir. Menurut dia, usulan ini sudah disampaikan kepada pemerintah, namun pemerintah tak kunjung memberikan jawaban.
“Apakah itu akan dimasukkan ke dalam pasal kesepakatan besok? Dugaan saya enggak. Tetep belum sempurna karena rekayasa kasus ini sepakat seluruh fraksi. Tapi apakah akan dimasukkan? Kelihatannya enggak,” kata Bambang di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 14 November 2022.
Berdampak bongkar lagi RKUHP
Menurut Bambang, penambahan pasal rekayasa kasus bakal kembali membongkar RKUHP. Dia menyebut bongkar pasang ini bakal membuat pengesahan RKUHP makin molor.
“Pemerintah masih menggodok, belum memberikan jawaban. Kenapa? Ya ditanya pemerintah. Tetapi itu pasti disahkan dalam rapat dua hari itu. Pasti akan keluar itu. Tetapi kalau itu nanti dibongkar lagi, tempur lagi. Panjang lagi,” ujarnya.
Usai menggelar rapat dengar pendapat umum bersama Aliansi Nasional Reformasi KUHP pada hari ini, DPR Komisi Hukum bersama Kementerian Hukum dan HAM bakal membahas draft akhir RKUHP pada 21-22 November 2022 mendatang. Sebelumnya, pemerintah telah menyerahkan draft ini pada 9 November 2022.
Bambang menyebut rapat bersama pemerintah sebagai momen penghalusan terakhir draft RKUHP. Kendati demikian, ia menegaskan rapat ini tidak bakal merombak RKUHP. “Enggak, enggak ada perombakan RKUHP,” kata dia.
Awal mula usulan pasal soal rekayasa kasus
Sebelumnya, anggota Komisi Hukum DPR mengusulkan penambahan pasal yang mengatur tindak pidana rekayasa kasus dalam RKUHP. Anggota Komisi Hukum Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menyebut komisinya telah menerima banyak masukan dari berbagai elemen masyarakat soal rekayasa kasus.
“Mungkin ada satu sampai dua pasal tindak pidana baru. Jadi ini kira-kira saya tidak tahu persis tapi mungkin jadi bagian dari bab atau sub bab di bawah obstruction of justice,” kata Arsul dalam rapat kerja bersama Kemenkumham, Rabu, 9 November 2022.
Arsul mencontohkan banyaknya tindak pidana narkotika yang kerap direkayasa. “Sering terjadi tindak pidana narkotika tapi ditaruh di mana, ini untuk mengcover, untuk memastikan bahwa penegakan hukum kita adil dan tidak dibuat-buat,” ujarnya.
Setali tiga uang dengan Arsul, anggota Komisi Hukum DPR Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari, mengusulkan penambahan pasal soal rekayasa kasus dengan berkaca dari pengalaman sebelumnya. Menurut dia, tindakan fabrikasi bukti harus dipidana.
“Kita usulkan ada (pasal) fabrikasi bukti di mana ketika ada orang yang memasukkan bukti, membuat bukti-bukti palsu yang digunakan dalam proses pengadilan, maka itulah yag dimaksud rekayasa kasus dan harus dipidana,” kata dia.
Anggota Komisi Hukum DPR Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, menilai penyidik di Indonesia punya power penuh yang mesti dikontrol. Menurut dia, pasal soal rekayasa kasus ini merupakan upaya untuk mengontrol power yang terlalu besar di tangan penyidik.
“Penyidik kita yang puya power penuh harus dikontrol, power must be controlled by another power. Kita sering sampaikan setajam-tajamnya pistol peluru polisi, lebih tajam pulpennya. Mau jadi apa ini barang, ini pengalaman yang panjang,” kata dia.
Baca: Anggota Aliansi Reformasi RKUHP Berdebat Sengit dengan Ketua Komisi 3 DPR