TEMPO.CO, Jakarta - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendesak pemerintah segera membenahi proses rekrutmen, keberangkatan, pemantauan, hingga kepulangan para Pekerja Migran Indonesia ke Eropa. Ini karena masih banyak pekerja migran tanah air yang mengeluhkan mahalnya biaya penyaluran yang mereka tanggung.
Ketua Dewan Pimpinan Luar Negeri (DPLN) PSI, Shandy Adiguna, pada akhir pekan lalu mengunjungi permukiman pekerja kebun dari Indonesia di sebuah perkebunan di wilayah Kent, Inggris. Lokasinya berjarak sekitar 100 kilometer di timur London. Saat ditemui, para Pekerja Migran Indonesia itu mengeluhkan kepada Shandy tentang kendala penyaluran tenaga kerja ke keluar negeri.
“Pemerintah perlu turun tangan untuk mengatur perusahaan penyalur agar lebih transparan, memberikan informasi sejelas-jelasnya kepara pencari kerja, menilik kontrak kerja, membuka rincian biaya, melaksanakan pelatihan, dan memberikan pendampingan hingga selesai masa kontrak,” kata Shandy dalam keterangan tertulis, Senin, 14 November 2022.
Baca: Pelajar dan Pekerja Indonesia Keluhkan Sulitnya Masuk Malaysia
Para pekerja itu, kata Shandy, mengeluhkan mahalnya biaya yang telah mereka keluarkan untuk dapat meraih kesempatan bekerja di luar negeri. Biaya ini dipungut oleh perusahaan atau agen yang merekrut mereka di daerah, yang kemudian menyalurkan mereka melalui satu perusahaan penyuplai di Jakarta yang menjadi mitra perusahaan rekruitmen tenaga kerja kebun di Inggris. Panjangnya rantai pasok tenaga kerja inilah yang menyebabkan biaya tinggi yang harus ditanggung oleh para pencari kerja.
Ratusan pekerja kebun (farm worker)asal Indonesia yang bekerja di sejumlah perkebunan di Inggris saat ini tidak lagi memiliki penghasilan. Hal ini dikarenakan masa panen atau petik yang telah berakhir bersamaan dengan menjelang masuknya musim dingin di Inggris.
“Sementara mereka tetap harus mengeluarkan biaya hidup seperti tempat tinggal, listrik, gas hingga pangan yang tidak kecil. Kondisi ini tentu saja memberatkan bagi para pekerja musiman ini. Belum lagi, sebagian besar dari pekerja ini, membiayai keberangkatan mereka dengan cara berutang,” tutur Shandy.
Iming-iming besarnya uang yang akan didapat membuat para pencari kerja ini tergiur untuk mencoba peruntungan, walau tidak sedikit dari mereka yang tidak memiliki latar belakang sebagai pekerja kebun lapangan.
“Sayangnya ini semua tidak dibarengi dengan pemberian informasi dan pembekalan yang memadai mengenai kontrak kerja, visa kerja, kondisi kerja serta tinggal, cuaca, waktu kerja, masa tanam atau panen, biaya hidup hingga masalah perpajakan di Inggris,” kata alumnus Institut Teknologi Bandung ini.
Meski menghadapi berbagai permasalahan, Shandy tetap mengapresiasi semangat kerja serta sikap positif yang ditunjukkan oleh para pekerja migran tersebut. Bahkan di antara mereka ada yang mendapat pengakuan atas prestasi kerjanya sebagai pemetik buah.
Baca: Sebut 28 Negara Antre Jadi Pasien IMF, Jokowi: Eling Lan Waspodo
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.