TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia mengkritik laporan dari delegasi pemerintah Indonesia dalam Sidang Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, pada Rabu, 9 November 2022. Salah satunya soal pernyataan pemerintah agar membedakan antara pelanggaran HAM dan penegakan hukum.
"Ini statement yang tidak empati terhadap isu di Papua," kata Media and Campaign Manager Amnesty International Indonesia Nurina Savitri dalam konferensi pers, Kamis, 10 November 2022.
Nurina mencontohkan bagaimana selama 2022, ada 51 orang yang ditangkap dan mengalami kekerasan terkait demo Otonomi Khusus atau Otsus Papua. "Apakah ini yang disebut penegakan hukum?" ujarnya.
Baca juga: Isu Papua jadi Catatan untuk Indonesia di UPR Dewan HAM PBB
Masalah lain juga terkait dengan pembunuhan di luar hukum atau extra judicial killing yang terjadi di Papua dan masih adanya tahanan politik alias tapol. Amnesty mencatat ada 94 tapol sepanjang 2019-2022, yang di dalamnya termasuk tapol Papua dan Maluku.
Isu Papua sebelumnya menjadi satu di antara beberapa catatan yang mendapat rekomendasi kritis saat Sidang UPR Dewan HAM PBB. Kendati disorot tajam, Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna H. Laoly mengklaim keberhasilan dalam mempromosikan dan melindungi HAM di Indonesia, yang sangat terkait dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Selain isu Papua, masalah HAM lain yang menjadi perhatian di sidang tersebut adalah isu hukuman mati, ratifikasi optional protokol konvensi anti-penyiksaan, revisi kitab UU Hukum Pidana, kebebasan beragama dan berekspresi, perlindungan terhadap hak perempuan, anak dan penyandang disabilitas.
“Catatan-catatan penting tersebut, akan ditempatkan sebagai refleksi untuk terus meningkatkan pembangunan kita dan melakukan koreksi lebih lanjut. Dengan begitu, kualitas pembangunan kita bisa meningkat secara merata bagi kesejahteraan rakyat Indonesia di manapun berada,” kata Yasonna dalam konferensi pers yang dilakukan secara virtual dari Jenewa.
Saat diminta keterangan lebih lanjut mengenai isu Papua, Yasonna menyebut negara-negara anggota PBB juga tidak begitu gencar menyerang Indonesia. Namun diakuinya, ada beberapa isu yang diangkat, contohnya masyarakat adat dan dugaan pelanggaran HAM seperti mutilasi tentara terhadap warga sipil.
Dalam sidang tersebut, Yasonna juga menyerahkan laporan HAM Indonesia ke Dewan HAM PBB. Beberapa di antaranya tindak lanjut pemenuhan HAM sesuai dengan 167 rekomendasi yang telah diterima pada UPR sebelumnya hingga kondisi Indonesia yang terdampak pandemi Covid-19 serta upaya pemerintah dalam memastikan hak-hak warga negara.
Laporan tersebut diklaim telah disusun dengan dukungan masyarakat sipil Indonesia dan lembaga-lembaga HAM nasional. Adapun outcome UPR ini, yang ada dalam bentuk rekomendasi-rekomendasi akan dikonsultasikan lebih lanjut. Pemerintah Indonesia memiliki hak untuk mendukung atau cukup mencatat saja.
“Pemerintah tentunya akan terus berkomitmen tanpa kenal lelah dalam menunaikan tujuan pembangunan nasional, termasuk di bidang HAM,” ujar Yasonna.
Nurina berterima kasih kepada 9 negara di Sidang UPR yang mengangkat isu HAM di Papua. Menurut dia, kondisi ini membuktikan bahwa apa yang disampaikan tersebut memang benar adanya. Kedua, apa yang disampaikan pemerintah dalam laporannya tidaklah utuh.
Nurina memberi contoh lain seperti pada poin kebebasan berekspresi, di mana pemerintah menyebut Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP diklaim akan memperbaiki rule of law dan perlindungan HAM. Tapi masalahnya, draf RKUHP ini mengandung pasal bermasalah yang berpotensi melanggar HAM. "Ini yang jadi pertanyaan kami bagaimana klaim itu disampaikan, dasarnya apa?" kata dia.
Berikutnya, Nurina juga mengkritik klaim pemerintah dalam Sidang UPR yang menyebut telah melibatkan masyarakat sipil dalam penegakan HAM. Padahal dalam instrumen hukum internasional, keterlibatan ini haruslah berupa partisipasi bermakna. "Bukan sekedar meeting," kata dia.
Dalam catatan Amnesty, ada 172 pembela HAM yang mendapat serangan. Maka ketika Indonesia disebut telah melibatkan kelompok masyarakat sipil, Nurina balik mempertanyakan bukankah ratusan serangan yang dialami pembela HAM ini justru berkebalikan dengan klaim pemerintah.
Untuk itulah, Amnesty menilai laporan pemerintah dalam Sidang UPR kemarin tidak boleh ditelan mentah-mentah. "Saya bisa pahami posisi Indonesia tidak mungkin sampaikan pelanggaran, tapi informasinya tak sesuai kondisi di lapangan," kata dia.
Baca juga: Komnas HAM Sedang Kawal 3 Kasus Dugaan Pelanggaran HAM di Papua