TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak seluruh nota keberatan atau eksepsi terdakwa obstruction of justice pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat, Baiquni Wibowo, saat putusan sela di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 10 November 2022.
“Tidak beralasan untuk dikabulkan, maka eksepsi haruslah ditolak,” kata Ketua Majelis Hakim Ahmad Suhel saat sidang putusan sela di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 10 November 2022.
Majelis hakim menilai pokok yang disampaikan dalam nota keberatan kuasa hukuk terdakwa telah masuk ke dalam pokok perkara. Alhasil, hal tersebut harus dibuktikan dalam tahap pembuktian dengan agenda pemeriksaan saksi.
Majelis hakim juga mengatakan dakwaan yang dibuat jaksa penuntut umum (JPU) telah sesuai dengan Pasal 143 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Majelis hakim mempertimbangkan surat dakwaan yang dibuat penuntut umum sudah memenuhi syarat formil dan syarat materil,” ujar hakim.
Dengan demikian majelis hakim memutuskan untuk mengadili dengan menolak eksepsi. Majelis hakim juga meminta agar jaksa penuntut umum melanjutkan sidang ke tahap pemeriksaan saksi.
“Mengadili, satu menolak eksepsi keberatan atau eksepsi penasihat hukum terdakwa untuk seluruhnya,” kata hakim.
Hal itu, kata hakim, sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur apabila sifang tetap dilanjutkan hingga vonis dijatuhkan.
Sebelumnya tim kuasa hukum terdakwa obstruction of justice kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat, Baiquni Wibowo, menilai Jaksa Penuntut Umum keliru dan salah dalam penjabaran fakta yang dijadikan dasar pembuatan surat dakwaan dalam nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 26 Oktober 2022.
Kuasa hukum Baiquni, Junaedi Saibih, membeberkan kekeliruan JPU, antara lain tidak cermat menerapkan unsur Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP karena tidak adanya kesamaan niat antara Ferdy Sambo dan Chuck Putranto sebagai pemberi perintah dengan Baiquni Wibowo sebagai pihak yang diperintahkan, baik itu dalam perbuatan didakwakan pada dakwaan pertama primee dan subsider maupun pada dakwaan kedua primer dan subsider.
“Padahal secara hukum diperlukan dua syarat yang wajib dipenuhi agar terdakwa Baiquni Wibowo dapat dianggap memenuhi unsur turut serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1, yakni harus adanya kerja sama fisik dan kesamaan niat antara Ferdy Sambo dan Chuck Putranto dengan Baiquni Wibowo,” kata tim kuasa hukum saat membacakan eksepsi, 26 Oktober 2022.
Kuasa hukum mengatakan pada 12 Juli 2022 sekitar 17.00 WIB, Baiquni Wibowo mendapat perintah dari Ferdy Sambo melalui Chuck Putranto dengan kalimat “kemarin saya sudah dimarahi, ini perintah Kadiv Propam”, untuk menyalin file rekaman yang ada di dalam DVR CCTV. Kemudian pada 13 Juli 2022 sekitar 20.30 WIB, Baiquni Wibowo mendapat perintah Ferdy Sambo melalui Arif Rachman Arifin dan Chuck Putranto, untuk menghapus file di hard disk dan flash disk. Ia juga diperingatkan secara tidak langsung oleh Ferdy Sambo agar tidak terjadi kebocoran.
“Maka dapat disimpulkan bahwa dalam peristiwa tersebut yang terjadi bukanlah suatu turut serta melakukan atau terdapat kesamaan niat antara Irjen Pol Ferdy Sambo, Arif Rachman Arifin dan Chuck Putranto dengan Terdakwa Baiquni Wibowo, melainkan hanya melakukan perintah atasan disertai ancaman,” kata kuasa hukum.
Kuasa hukum juga menilai JPU tidak jelas menguraikan unsur Pasal 55 ayat 1 ke-1, misalnya, surat dakwaan tidak menunjuk secara jelas dan spesifik menunjuk secara jelaa dan spesifik bentuk penyertaan masing-masing pihak terkait pidana yang dilakukan.
“Dakwaan Penuntut Umum tidak merumuskan kualifikasi dari kedudukan terdakwa Baiquni Wibowo apakah sebagai pelaku (pleger), menyuruh melakukan (doen pleger), atau turut serta melakukan (medepleger),” kata kuasa hukum Baiquni Wibowo.
Baca: Ferdy Sambo Sempat Minta Penyidik Polres Jaksel Tidak Umbar Peristiwa Magelang