TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, berkata permasalahan konflik tambang di Indonesia merupakan masalah serius. Bahkan, ia mengatakan negara juga menjadi bagian kompleksitas dari persoalan tambang di Indonesia.
Melky menyebut persoalan konflik tambang sejatinya tidak dapat dipisahkan dari kontestasi politik pemilihan umum. Sebab, kata dia, dana-dana yang bersumber dari pertambangan banyak yang dikucurkan untuk dana kampanye politik. Bahkan, tak jarang politisi yang juga bermain dalam bisnis tambang.
“Data yang kami himpun juga menyebut 86 persen dana kampanye dari dua pasangan calon pilpres di 2019 berasal dari perusahaan tambang,” ujar Melky pada diskusi bertajuk Perskongkolan Geng Tambang di Polisi dengan Oligarki Tambang, Kamis, 3 November 2022.
Eksekutif dan Legislatif dipenuhi orang-orang yang berkecimpung di dunia tambang
Sebagai hasil yang diperoleh dari dana kontestasi elektoral yang berasal dari bisnis pertambangan, kata Melky, pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan yang mengakomodair kepentingan pengusaha tambang. Hasil riset JATAM menyebut sebagian besar badan eksekutif maupun legislatif di Indonesia dipenuhi oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia tambang.
“Misalnya saja dari kabinet pemerintahan Jokowi jilid dua sepertiganya terafiliasi bisnis tambang. Di sisi legislatif dari 575 anggota DPR RI terpilih, 43 persen berbisnis tambang,” kata dia dalam sebuah acara diskusi publik.
Menkomarinves sempat fasilitasi pertemuan JATAM dengan pemilik tambang
Selain kepada permasalahan kebijakan yang menguntungkan tambang, Melky berkata jerat hukum dan pengerahan aparat banyak yang digunakan untuk membungkam warga. Ia bercerita saat ia mengadvokasi warga di Pulau Bangka dan Sulawesi Utara. Setelah melakukan berbagai proses hukum, warga dinyatakan menang gugatan dan izin perusahaan tersebut dicabut.
Singkat cerita, Melky mengaku sempat diundang ke Kementerian Koordinator Maritiim dan Investasi yang dipimpin oleh Luhut Binsar Pandjaitan. Saat itu, dia menyatakan Luhut mengundangnya untuk berbicara soal pemulihan lahan tambang. Pada saat pertemuan, ia mengaku bertemu sang pemilik tambang dan menawarinya sejumlah uang.
“Bayangkan orang yang tidak ada di dalam undangan bisa masuk ke dalam kementrian dan bahkan menantang kami berapa uang yang diperlukan untuk menghentikan aktivitas advokasi kepada warga,” ujarnya.
Sebelumnya, JATAM sempat merilis data konflik tambang yang meningkat pesat pada 2020. Menurut data mereka, sepanjang 2020 terjadi 45 konflik. Jumlah ini meningkat hampir lima kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 2019, yakni 11 konflik. Pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi menurut mereka, terdapat 116 konflik pertambangan yang berhasil dicatat.