TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK Edwin Partogi mengatakan, orang tua korban tragedi Kanjuruhan Devi Athok Yulfitri, menyetujui lagi rencana ekshumasi jenazah dua anaknya. Dua putri Devi yang tewas dalam insiden pascapertandingan Arema vs Persebaya itu adalah Debi Ramadhani, 16 tahun, dan Nayla Debi Anggraeni, 13 tahun.
Sebelumnya, upaya ekshumasi sudah pernah direncanakan, namun keluarga menandatangani pencabutan rencana gali kubur itu. Diduga pencabutan itu karena adanya intimidasi terhadap Devi. LPSK berharap intimidasi tak terjadi lagi. "Karena akan berdampak buruk bagi kepercayaan publik terhadap proses hukum yang adil," kata Edwin dalam siaran persnya, Rabu, 2 November 2022.
Adapun ekshumasi dan rencana autopsi dua jenazah korban tragedi Kanjuruhan itu akan dilaksanakan pada 5 November 2022.
Menurut Edwin, saat ini LPSK menangani perlindungan terhadap 18 orang saksi tragedi Kanjuruhan. "Program perlindungan agar saksi dan korban aman dalam memberikan keterangan pada setiap proses hukumnya,” kata dia.
Baca juga: Ekshumasi Korban Tragedi Kanjuruhan Dilakukan Akhir Pekan Ini
Dari 18 orang yang dilindungi, LPSK merekomendasikan 13 nama sebagai saksi kepada penyidik. Edwin beralasan, 13 orang ini memiliki keterangan penting untuk mengungkap perkara yang menewaskan ratusan orang tersebut.
LPSK berharap penyidik tidak hanya fokus terhadap Laporan Polisi (LP) dengan Pasal 359 dan 360 tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dan luka. Namun, juga mendorong LP terkait Pasal 170 dan Pasal 212 terkait penyerangan terhadap orang (aparat) dan perusakan barang.
Sedangkan untuk aparat yang menembakkan gas air mata, katanya, sebaiknya dipertimbangkan sebagai sangkaan perbuatan penganiayaan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 351 dan Pasal 354 KUHP. Penggunaan gas air mata mengakibatkan gangguan kesehatan baik berupa sesak napas, iritasi kulit, mata berdarah. Selain itu, juga dapat berujung kematian bagi yang memiliki komorbit.
Perbuatan penembakan gas air mata, ujar Edwin, harus dikaji sebagai bentuk kesengajaan bukan kelalaian. Termasuk Pasal 170 terdapat perbuatan yang dilakukan aparat ketika peristiwa berlangsung. Yang juga tak dapat diabaikan, ujarnya, jatuh korban anak pada peristiwa tersebut.
Korban anak bisa diperluas penyidik dengan pengenaan Pasal 76C juncto Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak, yakni kekerasan terhadap anak. Termasuk perbuatan oknum aparat yang menghalang-halangi korban mendapatkan bantuan medis dapat dikenakan pidana sebagai mana diatur Pasal 421 KUHP.
“Sebaiknya kepolisian membuka diri untuk menerapkan pasal baru maupun bila adanya laporan baru yang disampaikan oleh saksi/korban atas peristiwa tersebut,” ujar Edwin. LPSK sepenuhnya akan mendukung upaya pengungkapan tragedi Kanjuruhan dengan memberikan perlindungan kepada para saksi/korbannya.
Baca juga: Intimidasi Jadi Sebab Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Batalkan Ekshumasi, Apakah Itu?