INFO NASIONAL - Media massa sudah menjadi industri. Akibatnya, suara masyarakat adat terabaikan dan media massa kurang memberikan perhatian terhadap perjuangan masyarakat adat untuk mempertahankan jati diri dan hak-haknya yang dicaplok oleh pemerintah dan koorporasi. Hal ini dibahas dalam sarasehan 12 Kongres Masyarakat Adat Nusantara VI di Obhe Nendali-Netar, pada akhir Oktober 2022.
Menurut Rafael Ratong Hera, Anggota Dewan Aliasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Nusa Flores Bagian Timur, Region Bali Nusa, kurangnya perhatian media massa untuk mempublikasikan perjuangan masyarakat adat terhadap jati diri dan hak-haknya yang dicaplok oleh pemerintah dan koorporasi, karena media massa lebih mementingkan informasi yang bisa dijual. Sebab, media massa itu sudah menjadi lembaga bisnis.
Baca Juga:
"Ada anggapan, informasi tentang perjuangan masyarakat adat itu, kurang seksi untuk dijual. Tapi kalau dalam perjuangan masyarakat adat itu, ternyata ada korban jiwa yang meninggal, barulah, media massa ramai-ramai memberitakan," kata dia.
Karena itu, Rafael melanjutkan, dalam sarasehan di Kampung Nendali, peserta dari berbagai komunitas AMAN membahas tentang bagaimana media massa dan media sosial bisa mendukung perjuangan hak masyarakat adat sebagai ruang kebebasan berpendapat.
Rafael menjelaskan, saat ini kondisi masyarakat adat tengah berada di dalam pusaran arus informasi dan kebebasan berpendapat. “Media massa saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh penguasa. Sedangkan media massa yang independen dan berpihak kepada masyarakat adat, pada umumnya media massa yang diterbitkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang jumlahnya sedikit dan jangkauannya terbatas bila dibandingkan denga media massa arus utama yang berorientasi pada bisnis informasi," ujarnya.
Dari kenyataan ini, Rafael meminta AMAN untuk melihat peluang-peluang dalam upaya memperkuat pengaruh masyarakat adat di ruang publik. (*)