INFO NASIONAL - Jaisa, perempuan asal Massenrempulu, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, hanya bisa pasrah melihat air yang dulu mengalir dari Gunung Latimojong untuk kebutuhan air bersih dan persawahan, mulai mengering akibat perambahan manusia yang tak terkontrol.
Begitu juga dengan Doliana Yakadewa, perwakilan Perempuan AMAN dari Region Papua, wilayah adat Tabi, sudah tak berdaya melihat Cagar Alam Gunung Cycloop yang terus dibabat.
“Kami hanya perempuan. Menurut tradisi budaya kami, perempuan tidak punya hak untuk berbicara masalah tanah dan hutan di rumah adat, padahal, tanah dan hutan itu, untuk kelangsungan hidup generasi yang kami lahirkan,” kata Doliana Yakadewa dengan mata berkaca-kaca di hadapan peserta sarasehan di Kampung Dondai, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura pada Rabu, 26 Oktober 2022.
Sarasehan bertajuk “Hak Perempuan Adat dalam Kebijakan Negara” menjadi bagian dari KMAN VI. Selama dua hari sarasehan tersebut membahas isu gender. Setiap sesi selalu diwarnai dengan saran dan usul oleh perempuan-perempuan Nusantara dari 7 Region yang hadir disitu.
Hari Pertama ada dua sesi yang membahas tentang “Inisiatif Multi Pihak Dalam Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender” dan di hari kedua membahas tentang “Perempuan Adat Adalah Pejuang Perubahan Sosial”.
Baca juga:
Semua perempuan pada sarasehan ini menyuarakan hal yang sama, yakni perlakuan kebijakan negara yang telah mengimpit hak perempuan adat dengan bentuk-bentuk kebijakan yang kurang memberi rasa nyaman.
Pada hari pertama ada beberapa hal yang menjadi fokus pembahasan. Adapun rekomendasi yang dihasilkan adalah pendidikan untuk membentuk karakter anak usia dini. Menurut peserta sarasehan, pendidikan untuk membentuk karakter anak usia dini kurang mendapat perhatian serius dari negara.
Terungkap juga dalam sarasehan itu, bahwa pekerjaan mendidik seorang anak sejak usia dini, membentuk karakter hingga merek mengenal huruf, tidak sebanding dengan penghargaan yang negara berikan.
Hari kedua, peserta menyoroti status hutan adat yang berubah status menjadi hutan lindung. Banyak peserta yang menyampaikan fakta di daerahnya dan perlakuan dari kebijakan negara yang mengancam keberadaan masyarakat adat.
Jaisa, perempuan asal Massenrempulu kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan mengajak semua perempuan berperan aktif dalam mempertahankan jati diri masyarakat adat hingga mendapatkan jaminan berupa peraturan daerah.
Sementara Doliana Yakadewa menyampaikan dinamika yang terjadi di Kabupaten Jayapura, khususnya pantai utara Jayapura. “Kami yang punya hutan. Kami yang punya babi hutan. Kami yang punya kayu besi untuk bangun rumah. Kami punya semuanya, namun hak milik kami itu sudah menjadi milik negera dengan ditetapkannya Cycloop sebagai Cagar alam. (*)